Salary Sacrifice


Di kantor kami sudah lama ada kebijakan yang memang didukung oleh pemerintah Australia yaitu memiliki Personal Laptop secara diangsur, tanpa bunga dan bebas pajak.

Kata-kata teramat sakti menggiurkan “bebas-pajak, laptop, tanpa bunga, pembayaran diangsur..” – kerja sama ini langsung disabet oleh DELL, sehingga seluruh jajaran kantor kami menggunakan Dell.

Ambil istilah jaman bapak Jendral Ali Murtopo dahulu, memasyarakatkan Laptop dan Melaptopkan masyarakat.

Teman-teman lain terutama India, Philippina yang memang sudah melek IT sejak dulu, menggenjot peraturan ini sampai-sampai ada yang baru masuk kerja sudah kredit LapTop. Teman-teman Indonesia termasuk saya bersikap bak perwakilan YLKI. Jangan boros, jangan beli yang tidak perlu.

Hampir empat tahun – saya bergeming dengan uluran tangan ini, pasalnya sekalipun tidak mentereng namun laptop inventaris kantor masih berfungsi sebatas email, selancar dan membuat laporan.

Apalagi sehebat dan semahal apapun sebuah alat elektronik semacam Laptop dalam beberapa bulan kedepan selalu saja sang pemilik merasa kurang ini dan kurang itu. Seperti juga dengan harga Laptop itu sendiri.

Hanya belakangan, DELL saya sudah disiksa dengan sambaran petir yang berakibat network card Laptop saya langsung tergantung layu sehingga saya banyak bergantung pada wireless. Lalu engsel layar mulai bergeser _ ini disebabkan aturan penerbangan, laptop harus masuk kedalam ruang bagasi helikopter – dan jelas tidak dijamin diperlakukan sebagaimana mestinya terhadap sebuah laptop. Misalnya saya sedang menulis blog dengan layar sikap sempurna, mendadak tanpa diperintah, layar sudah tertelentang gara-gara engeselnya mulai encok. Uwalah.

Maka bagaimana tidak “ngeces” pada koran terbitan 13 Mei 2008 ditawarkan Laptop bermerek dengan kemampuan masih nggegirisi saat ini dan harga dibawah 800 dollar. Padahal Laptop Dell umumnya tak bergeser dari 1500 dollar untuk kelas starter. Lupa sudah peribahasa yang saya agung-agungkan “bukan hebat laptopnya yang penting orang didepan laptopnya yang diperhitungkan…

Kali ini saya layangkan permohonan ke kantor disertai informasi barang yang saya inginkan. Pagi-pagi di Rig saya di tilpun oleh Paul Korona, manager saya. “You are unlucky” -katanya membuka pembicaraan.

Ternyata, saya telat beberapa jam sebelum peraturan tersebut dicabut. Pembelian laptop tetap harus dikenai pajak. Dan yang jelas tidak bisa beli kredit lagi.

Istilah “Salary Sacrifice” – (salar – garam, prajurit Romawi dahulu dibayar pakai Garam) bukan cuma untuk urusan kredit Laptop.

Anda bisa menentukan uang pensiun diluar standar perusahaan. Dan tiap bulan anda sudah bisa mengetahui sudah berapa banyak uang pensiun yang bakal didapat kelak.

Mungkin saja kebijaksanaan ini diambil gara-gara dampak naiknya harga BBM. Australia sudah memperkirakan akan banyak pengangguran. Di Singapura saya melihat antrian cukup panjang pemberian Sembako kepada warga yang sudah mulai puyeng akibat hantaman kenaikan harga.

6 thoughts on “Salary Sacrifice

  1. kredit tanpa bunga dan pajak? maksudnya seperti cicilan 0% dan minus pajak penjualan begitu? Dalam rangka apa ya sampe digalakkan kampanye ‘Everybody needs to have Laptop’ oleh pemerintah (jangan2 dibayar oleh perusahaan laptop lagi…..hehehe bawaannya curigaan wae)

    Kalo Singapore bagi2 sembako ini bener2 baru saya denger paman, walah ternyata imej ‘makmur’ Singapore di mata saya ini ternyata keliru ya, memang sih tak mungkin ada negara yang tak ada orang miskinnya, tapi saya pikir paling gak di Singapore gak bakalan ada kasus atau kejadian busung lapar seperti di sini

    Like

  2. Soal Singapura, belum lama juga saya dengar – para Supir Taxi diberi tunjangan 800 dollar – karena pemerintahnya beruntung. Saya dengar dari paman Kim Seng sang Navigator. Lalu saya tanya dihabiskan dimana uangnya, dia bilang untuk beli PDA anaknya.

    Like

  3. GLEK, tunjangan 800 SGD? walah gaji saya sebagai karyawan saja tidak sampai segitu (dan tentunya saya juga tidak punya PDA) – taraf kehidupan kaum ‘kecil’ Singapore benar-benar bikin iri 😀

    Dari yang saya denger biaya hidup Singapore sekitar 800-1000 (sekali makan SGD 3-5? x3 sehari x 30 hari = SGD 450) dengan tunjangan SGD 800 pasti cukuplah untuk sekedar makan (yah, jika menggunakan hitung2an yang sama di Indo, sekali makan 5000 perak x 3 x 30 hari = 450 ribu. Sementara BLT yang dibagikan 100 ribu (itu pun, menurut klaim wapres akan sangat menguntungkan bagi kaum tak berpunya – mungkin seharusnya dia pergi ke Singapore dan bertanya pada supir taksi). Maap kalo komen saya bernada sirik yah paman 😀

    Like

  4. Erm Om Alter, saya Lia. Kebetulan tinggal di Singapore.
    Cuma pengen share sedikit tentang harga beras.
    Dengan semakin naiknya harga sembako, jatah makan yang dahulu bisa didapat dengan merogoh kocek 3$ terpaksa harus naik menjadi $4-5 per sekali makan. Jadi semakin mencekik saja kehidupan disini. Dan FYI, selama saya 9 tahun tinggal disini, baru sekarang ini saya melihat lonjakan harga beras sampai 50%(mungkin baru akhir2 ini aja saya sadar juga)

    Last but not least, biasanya kalau supir taxi di Indonesia memang mungkin kita harus bilang mereka sebagai orang ‘kecil’. Kalau disini…well..sometimes they even earn higher than us. Mereka easily menghasilakan $2000-3000 nett (setelah potong uang pensiun). Jadi sedikit kurang pas kalau mereka disebut orang ‘kecil’. Dan mereka itu biasanya jebolan retrenchment dari perushaan2 besar yang mendapat pesangon ratusan ribu $ kemudian mencari pekerjaan lain. Atau mereka adalah pensiunan yang mencari suatu aktivitas daripada diam dirumah.

    Like

  5. he..he…he…makanya Pramuwisma kalau kesana gajinya ya gedean juga…alhasil milih jadi TKI daripada kerja dekat rumah…

    Tapi bukannya nyari rumah disana susah? Apartemen saja harus antri dulu?

    Like

  6. jadi inget niatan beli MacBook. Pas ditokonya Apple niat sudah bulat sak pentol-pentol, begitu radius 5 meter dari toko tsb jadi ndak tega njebol tabungan yang ndak seberapa

    Like

Leave a comment