Empat Tak Sehat Lima Jauh Sempurna


Ketika menempati rumah sekarang ini, tercatat ada “cacat rumah” yang kami dapati. Belum ada jalan aspal, tilpun kabel, air ledeng, dan got pembuangan limbah.

Agar mirip slogan kesehatan maka ketidak sempurnaan ke lima adalah “tidak ada TPA.” – alias tempat buang sampah rumah tangga. Sekalipun ada tetangga yang ternyata diam-diam menyimpan sampah masyarakat di sebuah rumah berlantai dua.

Berlagak prihatin dengan “hidup kemproh ala lingkungan saya,” lantas disuatu pagi saya melihat seorang pria setengah baya menarik gerobak dengan sampah di belakangnya. Buru-buru saya kejar dan menghentikan lajunya gerobak. Singkatnya saya ingin pria ini membuangkan sampah untuk kami, sekalian ada tambahan uang dapur.

Di luar dugaan, pria bersandal jepit bluwek tadi sengit berkata “saya harus kekantor,” – dan saya mengkeret mundur. Padahal kata orang Citayam, “dari cekernya saja bisa ketahuan mana kaki kantor dan kaki “ngoret” kebun..

Pria berkantor ini adalah penjaga rumah sebuah keluarga. Di belakang hari ia salah satu anggota yang menerima santunan bulanan sekedarnya dari kami. Sampai sekarang bingkisan sembako untukny kami tulis “pak Kantor..”

Jangan heran – warga Bekasi- yang kebetulan (atau kesialan) menjadi penarik Ojek, akan mengatakan “pergi ke kantor” manakala ia bertugas mengojek. Anak-anak Citayam tegas-tegas mengatakan menjadi “kepala proyek” manakala mereka memacul tanah sendiri, memangkas batang singkong dan memagari halaman rumahnya untuk di”arah” daun mudanya sebagai komoditas sekedar sepuluh dua puluh ribu sekali “panen raya.”

Akhirnya saya memilih “anut grubyuk” alias rebah pisang. Kemana orang ke kanan, kami kekanan. Kemana orang buang sampah kami ikutan membuang sampah yang notabene adalah kapling warga yang belum dimanfaatkan.

Untungnya karena luasnya lahan tidur, dan amat sedikitnya “penyampah” – rata-rata sampah ini terurai secara organik. Paling kalau musim hujan datang, sampah membusuk dan menimbulkan aroma seperti buah sawo (busuk).

Lahan tidur memang menjadi kebiasaan warga untuk membuang sampah. Modal kantong kresek, lempar saja ke halaman tetangga. Habis urusan. Apalagi selama ini urusan sampai tidak sampai merusak hidung kalau tidak hujan.

Sayangnya keluarga mak Kasih ketiban pulung lantaran cuma lima meter dari lokasi TPA kami. Kalau sampah menggunung, mak Kasih ambil inisiatip membakar sampah tersebut. Bertahun-tahun praktek ini dilakukan.

Namanya asap bakaran kadang masuk tanpa diundang dan salah satu ekor asap ini memasuki rumah keluarga yang memang suka sekali memaki dan menghujat keluarga lain. Sebut saja mak Parno.

Sekalipun mak Parno ini kerap membuang sampah di lokasi mak Kasih, namun ketika ada asap masuk ke mata, api kemarahannya membuncah. Mak Kasih dicuci maki habis-habisan sebagai orang yang jorok dan tidak perduli kepentingan tetangga.

Akibatnya sampah dilokasi saya sekarang menumpuk dan menumpuk menunggu mak Kasih hilang traumanya kekerasan kata dalam RT.

Lalu saya menyoba mengatasi permasalahan rumah saya dengan menggali lubang sampah untuk ditutup lubang bilamana sudah penuh isinya. Yang celaka, seperti diundang maka para tetangga ikutan bancakan mengisi sampah organik, kaleng baygon, susu bermelamin, sisa tahu berformalin ke lubang kecil kami sehingga sebentar saja, lubang sudah harus digali. Dan baunya mau tidak mau menempel ke laptop juga.

Maka disela-sela kebun singkong, pisang bodong (ndak tahu siapa pemiliknya), nada akan menemukan tumpukan-tumpukan kecil sampah yang sudah diorak arik kucing, anjing atau pemulung. Mahluk lain yang mengisi lahan tersebut adalah tawon tanah. Sekali terusik bakalan benjut kepala, bengkak lengan yang disengatnya. Lalu ada komunitas anai-anai yang begitu hujan turun rintik-rintik mereka bertemperasan keluar sehingga bisa dikiaskan bak kembang api air mancur. Begitu banyak mereka keluar dari tanah sehingga disana sini mirip pesta kembang api warna kecoklatan.

Kita baru sadar manakala mereka sudah mulai njahili badan kita dan ternyata bulu-bulu pada sayapnya menimbulkan alergi bagi yang peka.

Entah sampai berapa tahun lagi saya bisa melihat “sampah paradise ini” – kelak kalau daerah kapling ini sudah mulai dibangun, persoalan sampah akan mencuat juga.

2 thoughts on “Empat Tak Sehat Lima Jauh Sempurna

  1. Om Miem yang Berbagia.

    Saya hanya ingin berbagi pranala ke suatu situs yang menerbitkan artikel yang isinya menjelaskan pengelolaan sampah yang menguntungkan. Sampah didekomposisi dengan bakteri aerob dalam lingkungan yang terinsulasi rapat sehingga menghasilkan panas yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air untuk mandi.

    Sila klik di http://mb-soft.com/public3/globalzl.html

    Rasanya jika ide ini diimplementasikan dan berhasil, ia akan sekaligus menjawab masalah yang ada di postingan Om Miem yang ini dan postingan sebelumnya tentang problematika mandi air panas di rumah.

    Like

  2. ketika masih tinggal di Jogja, saya juga kebingungan dg masalah sampah. rumah kami masih “ndeso”, jadi tak ada tukang sampah keliling yg mengambil sampah dari rumah ke rumah. akhirnya saya mulai memilah sampah organik dan non-organik. yg organik langsung saya buang ke tanah kosong sblh rumah, dan yg non-organik saya kumpulkan ke tong sampah spt biasa. sampah non-organik itu kemudian saya buang ke TPA dekat pasar sembari saya berangkat ke kantor atau pas mau dolan.

    rupanya sampah kalau dipilah begitu, jd nggak bau lo Pak! bener! tp begitu saya lupa menaruh sampah organik ke tong sampah non-organik, wah rumah saya jd bau banget.

    mungkin bisa dicoba memilah sampah Pak. yg organik dibuang ke tanah aja, gak apa-apa. nanti bakal terurai sendiri. dan yg penting, gak bau. coba saja 🙂

    Like

Leave a comment