Dalam perkenalan singkat dengan komunitas Sanggar Ciliwung a.k.a Bukit Duri dan Kampung Pulo, telinga saya menangkap istilah bromocorah bertubi-tubi sehingga muncul rasa ingin tahu seberapa jauhkan sepak terjang para tatowan-tatowati dari bantaran sungai Ciliwung ini.
Sebut saja Gandoz, pemuda yang kata aparat keamanan sekitar sebagai “jatohan dari langit” – maksudnya lahir tanpa silsilah yang jelas.
Sejak kecil Gandoz dijadikan anak angkat seseorang dan tumbuh serta berkembang diwilayah dimana makan sehari-hari terkadang lebih penting daripada hidup seribu tahun lagi. Gandoz lantas tumbuh sebagai pemuda kurus, mabokan namun diantara teman-temannya dia dikenal punya nyali naga dan naluri berkelahi yang terampil. Satu lagi kesetiakawanan yang kental.
Dengan sepak terjangnya pemuda kerempeng, dingin, kecil ini orang kampung menjadi segan kepadanya. Keamanan kampung terjamin, akibat wibawa Gandoz.
Katam dari pendidikan langsung praktek di “Universitas Perjuangan (agar sekedar) Hidup” dari kampus Ciliwung dia melangkah kedunia kriminal memalak, sampai akhirnya menjadi anggota semacam KAPAK MERAH di kawasan lain. Namun sejalan dengan waktu dan keahlian “tempurnya” bantaran Ciliwung dianggap terlalu kecil untuk mengembangkan bakatnya, apalagi dikalangan preman ada etika tak tertulis untuk tidak membuat daerah mereka menjadi intaian para aparat keamanan. Dan Gandoz serta kawanan hijrah ke tempat perburuan yang lain.
Sepeninggal Gandoz tidak dinyana muncul “bibit terpendam” lainnya sebut saja Gang Five karena mereka biasanya bergerombol sebanyak lima orang. Mereka mulai peran kecil-kecilan seperti menyambar Ayam, Burung, Jemuran, Radio warga entah apa saja yang bisa “diduitin”. Termasuk dalam target operasinya adalah burung dara pengurus/penggagas komunitas Ciliwung.
Gandoz mendengar berita bahwa kampungnya tidak aman datang bak jagoan dan mulai melakukan investigasi. Para korban yang kecurian kawatir Gandoz melakukan “tindakan represif” yang berlebihan.
Lalu para tetua mencoba menasihatinya dengan memberikan nasihat, misalnya, Mencuri Ayam (kampung sendiri) memang dianggap salah namun tidak berarti Gandoz boleh sesuka hati memberlakukan hukum rimba kepada kawanan pelaku curan-yam (pencurian ayam).
Rupanya nurani Gandoz tidak bisa ditaklukkan dengan nasihat lelaki berhati lembek. Ditawarkannya tenaga sukarelanya kepada para hansip, limas bantuan keamanan untuk membereskan kemelut ini.
Sementara para Tetua berusaha “mendinginkan kampung” – para jagabaya malahan mengompori isu bahkan memberikan lampu hijau berupa wewenang “diambil tindakan seperlunya..”
Seperti orang mengantuk disorongi bantal, Gandoz “mengambil” salah satu anggota peresah masyarakat bantaran. Disuatu pojok kampung, korban dihajar habis , sebelum ia pergi, korban diberi peringatan dan diserahkan pos ronda Ciliwung.
LAWAN BALAS DENDAM
Baru saja sang eksekutor sudah kembali ke habitatnya, pada malam berikut pintu posko digedor oleh kawanan begundal yang ingin membalas dendam atas “penculikan” teman mereka. Dengan bau alkohol tercium dari mulut, mereka marah dan menuntut balas. Lalu menantang keberadaan Gandoz. Sebuah kata-kata yang bakalan menuai “badai darah”.
Betul saja kerabat Gandoz menyampaikan tantangan ini melalui tilpun HP dan semua penghuni kampung sudah mencium gelagat bahwa Gandoz akan melayani tantangan tawuran.
Untunglah malam-malam berlalu begitu saja. Nampaknya Gandoz tidak ambiol perduli dengan tantangan tersebut. Pendudukpun lega karena kampungnya tidak perlu dijadikan ajang adu jotos yang tidak perlu.
Saat orang mulai lengah Gandoz dengan teman-temannya datang sambil membawa tombak, golok, sumpit, katapel berpanah dan berkumpul di depan posko yang sering dinamakan Rumah Kayu (bertingkat). Kali ini dalam keadaan mabok dan mengeluarkan kata-kata kasar. Apalagi sang penantang Gang Five tidak dijumpai ditempat.
Untuk melepaskan kekecewaan mereka dijamu makan, rokok, bahkan birpun mengalir untuk mencairkan suasana. Alhamdulilah, ketegangan mereda dan para pelurug bisa beranjak pulang .
PROVOKATOR DATANG
Belum juga napas lega ditarik, sebuah motor menggeram dari kejauhan. Rupanya Gang Five tidak terima dianggap tak bernyali macam tikus got. Mereka mendatangi kawanan yang Ngelurug. Belum juga motor sampai tujuan, beberapa tongkat, kayu sudah berterbangan keudara dan “dhez” tepat mengenai tubuh pengemudi motor dan cerita bisa ditebak.
Kali ini warga tidak tega melihat kawanan Gang Five menjadi bulan-bulanan sehingga pengurus kampungpun babak belur pasang badan untuk menghentikan perkelahian. Suasana masih belum “aman dan terkendali” – kata pak hansip belum kondusif.
Aparat keamanan dimintakan bantuannya malahan enteng menjawab “anak jatuh langit, matipun tidak ada yang menangisi. Apalagi sekedar perkelahian antar Geng.”
Sebelum ada nyawa meregang dan menjadi urusan dan bulan-bulanan polisi – anda yang sudah pernah berkenalan dengan nama Sel atau Ditahan Polsek sudah mahfum kan “biaya yang dikeluarkan”. Entah mendapat kekuatan apa seorang pengurus pasang badan didepan pemimpin tawuran sambil berkata:
“Kalian akan menukar burung Merpati dengan nyawa orang, itu salah besar!,” kata seorang pengurus yang dituakan.
Ajaib teriakan ini berhasil menyadarkan Gandoz dkk yang haus darah. Bahkan alat pentung dan pemukul lainnya dikumpulkan satru persatu lalu mereka ngeloyor meninggalkan bantaran Ciliwung.
Siapa Gandoz ini ? orang akan menyepelekan bentuk fisiknya. Kerempeng, kecuali bola matanya yang dingin.
Ia sendiri naik “tingkat” dikalangan preman gara-gara dalam ketidak tahuannya ia mencelakakan tokoh hitam dalam sebuah perkelahian. Padahal korbannya seorang jagoan disegani yang mungkin sedang apes.
Sejak itu Gandoz naik pangkat dalam lapisan yang lebih tinggi dan perlu ruang jelajah yang lebih luas. Merasa bintangnya “kinclong” – ia sangat berterimakasih kepada “kampus universitas perjuangan hidup” – yang membesarkannya sehingga sangat gusar kalau ada yang membuat desa tercinta menjadi tak aman.
Ketika terjadi gonjang-ganjing pemberantasan preman, beberapa media berniat meliput kehidupannya. Namun gandoz yang sebetulnya berada disekitar peliput memilih untuk sepi dari pemberitaan. Apalagi kadang instingnya memberi lampu merah bahwa sang peliput suatu saat akan menjadi “jalan tol” baginya masuk bui. Sekali waktu tilpun berdering di sebuah Posko Ciliwung. Di ujung tilpun sang istri “Tumirah” – menangis lantaran suaminya sudah beberapa hari tidak kunjung pulang.
“Hapenya nggak diangkat-angkat! pak!”
Anda yang pernah “masuk” kawasan hitam, kalau ada warga beberapa hari tidak pulang, umumnya kawin lagi, atau “dijemput ajal.” – Untunglah kekuatiran tidak terjadi, Gandoz rupanya lupa mengisi batereinya. Ndoz anak istri jadi cemas nih.