Sujud Sutrisno pengamen jalanan


Pernah aku melihat musik di taman ria
Iramanya melayu duhai sedap sekali2x
Sulingnya dari bambu, gendangnya kulit lembu
Dangdut suara gendang ingin serta berlenggang2x
Terajana…terajana…

Judul lagu dangdut ini sekarang dijadikan satu mata acara TV “dut” kita dengan lagu pembukaannya ya TeraJana itu tadi. Bait lagu tadi oleh penyanyi dangdut cewek kita yang pakaiannya yang menutup tubuh adalah sepatu lars panjang dan menggunakan selendang bulu, maka refrain Terajana agak disengau-dan celat-kan menjadi Telazhauna…telazhauna.

Lagu karangan Oma Irama sebelum dia jadi beneran seperti Oma-Oma yang crigis” seperti sekarang saya dengar pertama kali di Yogya sekitar 1974 oleh “satria berkendang” dia adalah Sujud Sutrisno di Nyutran-Yogyakarta. Saya masih ingat dia menyanyi dengan suaranya yang serak karena terlalu banyak tarik urat. Kadang matanya merem melek, yang seringkali mengingatkan saya akan penyanyi tuna-netra.

Itulah guru dangdut saya secara sekelebatan. Lagu pertama Terajana yang langsung terekam dalam ingatan saya, menyusul lagu kedua yang ia nyanyikan adalah lagu Yoan Tanamal : Hatiku Sepi Ditinggal Pergi dst… Sebelum akhirnya Yoan mencari keramaian dengan jarum suntik.

Usai dengan kedua lagunya, biasanya ia memutar radio transistor sebagai bonus lagu (atau malahan siaran pedesaan klompencapir) sebelum ia pamit setelah menerima saweran ala kadarnya. Ia konon tidak pernah mematok besar sawerannya. Tak dibayarpun tak mengapa. Kemana Sujud pergi, anak-anak di Nyutran mengikuti kemana langkahnya sampai ia menghilang dibalik gang yang lain.

Hari itu juga langsung hati saya tertambat dengan kejenakaannya memlesetkan lagu. Anak dari Wirosuwito, memang menuruni bakat seni dari sang ayah yang ahli cokekan. Kendati sudah pernah muncul dipanggung skala nasional, dipanggil mbarang di hotel mewah, namun sujud tetap tidak bermaksud meninggalkan pekerjaannya sebagai pengamen solo keluar masuk kampung mendatangi pelanggannya.

Jam kerjanya 09:00 sampai 14:00 maklum dia juga sudah beranjak tua, dan tinggal sendirian di rumah petak 2×7 meter. Isterinya meninggalkannya setahun lalu.

Tak berlebihan jika pengamen kelahiran 22 September 1953 dan tercatat sebagai penduduk Notoyudan GT II/1175 dianggap pengamen legendaris walaupun secara financial dia tidak kaya (miskin malah), tapi dia berbahagia dengan profesinya.

Sepertinya Sujud mengingatkan saya yang seringkali mengapa harus menganggap profesi orang lain lebih baik daripada profesi yang saya geluti. Ah Sujud Sutrisno bin Wirosuwito, anda layak jadi guru Spiritual saya hanya dengan 5 menit menyaksikan anda menyanyi. Ruarrr Biasa.

Ini baru pendakwah yang konsisten dan tidak terlalu crigis.

Date: Wed Jun 19, 2002 10:48 am

Respons dari teman-temanPak Mimbar,  Saya juga punya kenangan dengan pak Sujud ini, waktu itu (th 84/85) saya masih SMA di Yogya dan kost di Purwokinanti Pakualaman. Hampir setiap hari Minggu (kadang2 absent, mungkin route-nya ke kampung lain) beliau ini ngamen dengan gendangnya ke kost saya. Saya masih ingat gendangnya berdiameter kira2 20cm dengan panjang 40cm, diikatkan ke pinggang. Kalau sedang bergaya selalu kaki kanan lurus ke belakang dengan kaki kiri ditekuk ke depan menginjak pondasi rumah. Kedatangannya selalu ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak. Salam, Nengah

2 thoughts on “Sujud Sutrisno pengamen jalanan

  1. sujud? siapa orang nyutran yang tidak kenal beliau. begitu masuk kampung saya, gang warsokusumo, langsung “dang-geplak” sambil uro-uro, setengah serak, dengan lagu-lagu yang sudah di”preteli” sak penake dewe, digonta-ganti liriknya, tapi pakemnya malah tambah yahud, karena kendangnya, mantep dan lucu banget, edan tenan!

    dari rumah ke rumah, dan beliau sangat “selektif”, kalau rumah gedheg beliau tidak mampir, “mesakke”, katanya. setelah mbengak-mbengok dengan suara dan dagelan khasnya, sujud terus leyeh-leyeh di cakruk atau pos ronda, “ah, udud disik, metu irung”, begitu kira-kira sujud mengumpamakan betapa nikmatnya ngrokok sambil leyeh-leyeh. edan tenan!

    kang sujud, sudah lebih 40 tahun kejadian itu, saya masih eling. sumpah, sujud memang legenda tukang mbarang klas nasional yang pernah saya temui. salut saya, “smapeyan nang endi saiki?”. setelah lepas 31 tahun ninggalin yogya, saya betul-betul kehilangan “roh” kang sujud, sang legendaris kendhang yogya.

    Like

Leave a comment