mBeringHarjo


Pasar  mBeringharjo (MBH) bagi orang yang pernah tinggal di Yogya mungkin sama hapalnya dengan letak urat leher mereka.

Dulu saat masih kecil, Simbah mengatakannya sebagai  pasar Gede sementara pasar biasa adalah Kranggan.

Pasar Pingit adalah pasar hari-hari sebab lokasinya sekedar lencang kanandengan tempat penampungan kami (Asrama Polisi Pingit).

Mei 2013, dari markas Komando di Gancahan,  bude Nunuk mengajak blonjo-blonji ke mBeringHarjo. Beliau yang kesehariannya Bangun jam 03:30 menyiapkan masakan untuk warung nasinya, lalu menerima pesanan catering.

Dalam tataran keluarga, Bude Nunuk kami taHbiskan sebagaipengganti orang tua. Anak-anaknya yang perempuan semua sudah mentas sehingga untuk kesibukan ia ikut momong dua cucu lelaki kecil yang membuat hidupnya selalu harus sehat dan siaga.

Liburan kali ini saya memang menginap dikediamannya dikawasan Mbibis nGodean. Kok ya syukurnya istri saya yang keturunan BeruangKutub Utara lantaran doyan dingin, nyatanya bahagia bisa tidur buka jendela,buka pintu ditemani Sanken si Kipas Angin. Apalagi jam 02:00 pagi saya memiliki kebiasaan duduk main computer sampai siang.

Ditengah kepungan pohon papaya, durian, bamboo saya sempatkan sensasi mendengar dengusan halus, suara piring terbanting, pacul dan alat tani saling beradu. Yang pasti-pasti saja, ulah kucing mengejar tikus di gudang mereka.

****

Selesai dengan belanja bahan makanan untuk 200  box pesanan catering.

Sekali lagi ia tanya – “bener?” maksudnya bener nggak mau beli-beli gitu. Kami ya bilang tidak lha wong dia saja sudah suibuk dengan aktivitas sehari-hari.

Job selalu berdatangan seperti tak putus dirundung pesanan. Kendati skala kecil.

Sang suami, ketika pensiun menjadi guru mengisi formulir rencana kedepan dengan kalimat  – anter-anter istri kalau pergi.

Lantaran memang tidak kepingin blonja-blonji, maka istri “iseng” njaluk dinyangke (minta ditawarkan) jeruk Bali yang menginsirasi lagu  bocah untuk membuat  mobil-mobilan dari kulitnya.

Mbak Nunuk berjalan didepan penjual buah – menggunakan bahasa Jawa

Pira Jeruke Yu…” – berapa harga jeruknya

“Limo las Ewu..” – lima belas ribu.. Kalau saja istri saya tidak melegitimasikan wewenang tawar menawar maka boleh jadi tanpa pikir akan menyerbu buah kesukaannya  itu.

Pasalnya di Jakarta – nggak dapet tuh segitu.. Istri menggamit tangan Bude artinya “murah itu” dan reaksinya tangan istri malahan di tepis, “menengo ae..” (shut-up) dan beliau menawar dengan gagah berani..

Mangewu Entuk Mboten?” – Lima Rebu Boleh? Sambil berlalu memainkan peranan butuh-nggak-butuh.

Jreng Jreng Jreng…..

Dari kejauhan terdengar lengkingan…

Tandur dhewe ya Gak entuk – “Tanam jeruk sendiri juga nggak bakalan dijual segitu?” – kata mbok bakul mulai “sengak” ketus..

Istri sudah merasakan sensasi “abang ireng saking isine”merah padam saking nggak tega hati.

Tetapi beda dengan mbak Nunuk yang dasarnya memang seperti kata Margareth Thacher adalah “Wanita Bercelana Panjang” –maksudnya mengendalikan penuh urusan rumah tangga. Ia langsung balik kanan dan “marani” menghampiri – pedagang…

Saya kan menawar, saya belum jamah daganganmu apalagi icip-icip…aja muring-muring nesu”- kilah Bude Nunuk.

Melalui proses Jeruk-Re-Mediasi– akhirnya dagangan mbok yang “Tandur Dewe” yang kami bawa pulang karena memang jeruknya memang begitu sekel kemerahan dan yang penting memiliki aura powerfull macam bibir Vitalia..

Ketimbang yang ditawarkan pedagang lainnya. No hard feeling..

Sepulangnya dari MBH, kami memang melewati pedagang Jeruk pinggir jalan memasang harga Rp. 5000 – tapi bukan jeruk yang kami maksud.

Puluhan tahun lalu, saat jaman kegelapan (dan sekarang lebih Gelap lagi – mencegah rebutan tempat dengan semua yang mengaku mendapat pencerahan) saya mempunya teman mahasiswi asal Ngadirejo yang tinggal kost di Ngampilan Yogya (Lia my daugt don’t talk about this part to Mom). Perempuan ini yang mengajari saya teknik Jurnalisme sehingga saya tak bosan-bosannya menulis.  Ketika diajak “tour de mbringharjo” – ternyata beberapa pedagang di los ini mengulurkan sejumlah uang pinjaman.  Dan sifat aseli dibalik cadar muncul manakala ada penunggak yang ngeyel.

Butuh mental perkasa untuk memasuki kawasan MBH ini.. Saya yang lelaki saja bisa ciut nyali, mereka yang perempuan macam macan luwe kalau berjalan malahan mampu “Njathil” (kuda kepang, beringas, ngamuk) tetapi jaman dulu belum ada mahzab AhmadMuyiah yang bermarkas di Bogor lho.

Suatu pagi di pasar tradisional jalan Holland Singapura


Ibu-ibu di Singapura dengan tertib antre untuk dilayani penjual. Tidak nampak orang yang seakan-akan terburu-buru sampai tega menyerobot antrean. Semua tertib berbaris menunggu giliran. Akankan korupsi dinegara kita bisa dihilangkan cukup dengan menertibkan diri agar mau antre?
Los ikan basah, tanpa bau amis, tanpa bau lalat. Bisakah pasar tradisional kita meniru hal yang serupa?
Kakek menikmati semangkok bubur sambil kaki jegang diangkat ke kursi. Pemandangan para senior atau pensiunan pegawai di Singapura menikmati hari tua mereka.
Carrot Cake yang ternyata adalah semacam kwetiau yang kita kenal di Indonesia. Para gangster jaman dulu pantang makan kwetiau sebab dipercaya memperlambat luka bacok dalam perkelahian.

Daging Menghilang di Jakarta


Begitulah yang saya baca di sebuah harian langganan keluarga kami. Harga pereksemplar koran sama dengan sekali parkir motor namun tata letak, redaksi yang ditampilkan santun dan informatif. Sudah beberapa tahun ini kami tidak pernah berlangganan koran yang semangkin tebal halamannya semangkin gersang akan berita yang kami butuhkan. Dalam harian diperlihatkan kios pedagang daging yang sepi, lalu diceritakan bahwa pedagang bakso banyak yang menganggur karena kelangkaan daging.

Saya menoleh kepada menko keuangan pada RepVblik Mimbar (begitu teman saya memberi judul). Enakan jaman dulu, nggak ada nih cerita langka ini langka itu (maksudnya selalu jaman penguasa yang dulu). Maka diera sekarang selain menuding rezim yang sudah jatuh sebagai penyebab gonjang-ganjing maka maka kelangkaan daging, kelangkaan minyak tanah memang sebuah prestasi pemerintah kita yang perlu digurat dalam prasasti kegagalan.

Menko langsung mencerocos, tetapi saya tidak boleh memperlihatkan rasa ingin tahu sebab kalau ia sadar dirinya sedang saya jadikan sumber berita, biasanya langsung mogok. Seperti halnya kesulitan menyembunyikan wajahnya untuk sekedar tersenyum saat difoto.

Menurutnya, kalau kita menghadapi kelangkaan daging adalah dengan menyerbu pasar modern, misalnya supermarket Nobita – karena saya tidak boleh menyebut merek – “Harganya lebih murah, kualitas terjamin, timbangan nggak nyolong – maksudnya kalau mengaku satu kilo bukan sebetulnya 8 ons, jauh dari lalat, berpendingin udara.” Pendeknya bisa belanja pakai hak tinggi. Ini istilah Menko saya untuk pasar yang modern.

Daging di pasar, entah daging sapi atau ayam selalu basah. Daging yang kita beli banyak airnya, apalagi daging ayam,” welakadalah belum selesai to mengomelnya. “Kadang supermarket memberikan hadiah, misalnya belanja seratus ribu rupiah kita dapat membeli minyak sayur separuh miring, bukankah itu lumayan?

Lantas bagaimana dengan kebijakan seperti pembatasan pembelian daging hanya tiga kilo gram perkepala?

Mudah saja, bawa anak, keponakan, pembantu, kan bisa beli lebih dari sepuluh kilo kalau mau…

Tapi ada yang terlewatkan, kalau tukang bakso, apakah sempat membaca internet.

Akhir-akhirnya kembali golongan menengah keatas yang memiliki mobilitas dan konektivitas (informasi) yang menikmati gonjang-ganjing daging ini.

Terus bagaimana dengan jenis sayuran tomat gondol, cabe keriting apakah masih miring melirik pasar berhak tinggi? – Nah kalau itu kita harus ke ke pasar pakai boot karet maksudnya tentu rela berbecek dan berprengus ria demi memburu harga sayuran yang murah.

mimbarsaputro.wordpress.com
Artikel #1446
Februari 2008

Jantung Musti Kuat


Selain Waroeng Lotek Ulek – dari Bu Koordia, yang mencerminkan perjuangan seorang istri nan tak limbung tatkala bencana menimpa keluarganya, maka hal yang unik dari Pasar Ular, Tanjung Priuk adalah wajah para pedagang umumnya pria berwajah keras, serius dan tekanan suara mirip menyalak.  Harap maklum umumnya mereka berasal dari Sumatra Utara.

Sementara kaum hawa hanya kelompok minoritas disini dengan fungsi yang tidak jelas. Padahal kita maklum bahwa jalur pelayaran antar pelabuhan di kawasan Sumatera Utara justru berhiaskan para inang-inang yang mempertontonkan keuletan, kenekatan para perempuan menghidupi keluarganya.

Di sebuah toko yang pernah di ekspose oleh media, namun saya tidak merekomendasikan anak-anak dibawa serta mengingat barang pecah bergeletakan dimana-mana, seorang pegawai menjelaskan mengapa nyaris tidak kelihatan suku lain dan paceklik jenis sex lain berdagang barang serupa di kawasan ini.  Jawabannya hampir seragam “cuma kami yang kuat jantungnya dagang begini.”

Memang dimaklumi kawasan pelabuhan seperti Tanjung Priuk memang kawasan keras. Tetapi soal “jantung harus kuat, dan harus lelaki, isue jender macam apa pula ini” – tanya saya dalam hati mirip dialog Netron kita yang seperti “fardhu” hukumnya dengan adegan memegang henfon atau “dialog dengan diri sendiri.”

Di Pasar Ular Permai Tanjung Priuk sebut saja Jalan Kebun Bawang V ini ada bisa mendapatkan apa saja, mulai dari baju, celana, sepatu model Geox, Safety Shoes merek Red Wing, jam tangan ke kelas Rolex, Guci dan barang Keramik, CD dan DVD kosong, sampai minuman sekelas soft drink import.  Pendeknya bagi pedagang dikawasan ini tidak ada barang yang tidak bisa di jual apalagi harganya setengah miring.

Karena saya tidak tertarik guci atau barang pecah belah sebuah ransel saya amati. Tertera merek bermerek Oakley, produk Australia, yang ditawarkan seharga 400 ribu rupiah. Barang begini di Outlet macam Kathmandu Australia tidak bergeming dari 175 dollar. Saat mengecek keaslian dagangan macam manusia bodoh,  suara seorang pemilik toko terlibat pembicaraan tilpun. “Pak kita perlu meeting untuk membicarakan masalah Sekuriti di pelabuhan..

Lalu saya cari sekotak CD  kosong untuk membackup files-files saya. “Maaf pak sedang habis, kontainer kami masih tertahan di pelabuhan, maklum menjelang dan sesudah lebaran, pengawasan semakin ketat” -padahal belum dua minggu barang ini masih digelar. Di luar toko seonggok guci keramik sedang dikumpulkan lantaran pecah dalam perjalanan. Beberapa orang mengatakan suka berbelanja disini ketimbang “pasar ular” di ditempat lain, adalah keamanannya terjamin.

Persaingan dagang, meloloskan barang dari sergapan petugas di pelabuhan, berhadapan dengan para pemalak, kerusakan barang, menjual harga dibawah pasar. Mungkin itulah alasan mengapa mereka mengatakan “musti kuat jantungnya..” – kata saya berdialog dalam hati mirip Netron lagi. Katanya tidak suka (si) netron, tapi hapal setiap adegan dan nama pemainnya. Uuuh.