Pernahkan anak anda minta dibelikan Kulkast yang gede agar bisa jualan es mambo, atau bermain kelereng, jual karet gelang, layangan, gambaran, yang kalau menang lalu dijual. Kalau jawabnya “Ya” – maka kemungkinan besar putra-putri kita memang calon pemenang dalam bisnis. Namun kalau jawabannya “Tidak” – maka kendati gelar Management Magistratenya sampai tumplek blek didepan namanya, dia bakalan jadi pekerja sepanjang hayat dikandung badan. Contoh di atas adalah metode “bodonan”. “Pokoke kalau sedari cilik belum pernah cari uang sendiri, sulit nantinya jadi pengusaha,” sebuah ungkapan dari seorang teman.
Sedari kecil saya yang disuapi benda berujut gajihan, rapelan, uang lauk-pauk memang sedikit nyeleneh tatkala sudah jualan koran, layangan, gambaran, butir kopi lesehan, kuaci, pisang goreng, membawakan dagangan ibu-ibu atau bapak yang belanja di pasar Kertapati, Palembang. Dimata beliau, saya cuma akan menimbulkan keresahan. Almarhum ibu bahkan bilang “kalau semua bilang biru, Mimbar akan berdalih cari merah..”
Jalan hidup sayapun akhirnya emang bekerja dengan orang lain. Menjadi orang gajihan.
Dari dua anak saya, yang pertama sudah tidak menampakkan bakat dagang, sementara yang kedua saat masih TK sudah mulai menggelar taman bacaan didepan rumah. Kelas satu SD dia menjual fotocopy catatan sekolahnya, bahkan sekaligus jadi “debt collector” lantaran satu temannya nunggak utang, dia bertindak keras. Hari sabtunya saya di panggil guru wali kelas. Sekalipun setelah kuliah nampaknya bakat terpendam, namun api dalam sekam semoga tetap tumbuh.
****
Sementara saya sendiri pertama di Grogol kami buka usaha jual beli komputer IPM Compatible. Tidak lama kemudian ditempat yang tidak berjauhan muncul kursus lesehan komputer, yang dibelakang hari berubah menjadi monster bernama BINA NUSANTARA. Perusahaan kami bangkrut lantaran pegawai pinjam uang, namun mencari obyek dengan jualan komputer di luar sepengetahuan kami.
Usai komputer, pindah ke pemborong mengerjakan gorong-gorong proyek rumah sederhana. Itupun tahun pertama berjalan mulus, tahun kedua kami sudah seperti gangster mendatangi penunggak yang kadang harus ditunggu sampai jam 4 dinihari.
Saat Grogol mulai mengenal gas ELPIJI, beberapa orang sering menitipkan tabungnya untuk “nanti diisi kalau truk gas datang…” Itulah saatnya kami mengintrodusir gas ELPIJI. Saya masih ingat melakukan pendekatan kepada petinggi di Jaya Gas Ancol, susahnya bukan kepalang. Kemudian, saat air AQUA diperkenalkan, kami segera ancang-ancang menjual AQUA. Namun karena dikerjakan serampangan. Usaha inipun berangsur-angsur diakusisi secara halus oleh pihak lain. Apalagi kemudian Tauke-tauke Cina mengikuti jejak kami dan biasanya mereka lebih berhasil. Inilah usaha saya pernah kerjakan diluar usaha Katering dan Restoran. Lalu istri mulai saya perkenalkan menjual jamu Keladi Tikus, yang sepertinya ia sudah agak malas lantaran para pembelinya patok harga “Harus Sembuh” – padahal dengan dokter melalui pembedahan-pun kanker jarang yang takluk.
Lalu bagaimana dengan perusahaan Gajahsora. Perusahaan inipun masih dikelola oleh pemiliknya yaitu mertua saya (78 tahun), semakin lamban antisipasinya namun semangkin tambeng, sehingga ancaman dari kompetisi luar seperti tidak pernah diperhatikannya. Istilah restoran, dulu pakai resep masakan yang sama saya berhasil punya rumah diatas bilangan jari satu tangan, sekarang mustinya ya tetap linear.
Akibatnya, dalam kurun waktu setengah tahun, diperkirakan perusahaan ini tekor 200 juta-an. Kadang istri sebagai anak tertua ikut cawe-cawe menangani perusahaan, biasanya berhasil mendongkrak omslag dagang. Namun begitu perusahaan mulai sehat, pemilik-sah ikut campur sehingga sebagai hormat kepada orang tua, istri saya larang ikut campur (sampai ada krisis muncul)…
Apalagi sejak kami menjadi manusia rawa dari Rawabogo.
****
Lalu wiraswasta yang saya inginkan adalah tetap berkecimpung di bidang minyak, namun tidak terikat. Itulah alasannya saya seperti mengudak-udak agar segera bisa di PHK (dengan pesangon tentunya) lalu bekerja di bidang sama sebagai konsultan. Setahun di Australia, tawaran untuk kembali ke Indonesia cukup gencar. Lalu saya pada Juli 2005 mengajukan surat pengunduran diri (tanpa pesangon), namun pihak Australia menahan saya, bahkan saya dijadikan pegawai tetap. Paling tidak untuk setahun lagi katanya.
Saya tetap ingin bekerja sebagai mudlogger, namun mudlogger tidak terikat. Pasalnya banyak perusahaan kecil di Indoensia yang dapat job namun kekurangan pekerja, dan ini merupakan ladang hijau gemuk bagi mudlogger untuk bekerja di perusahaan kelas RUKO. Ada konsultan Wellsite Geologist, mengapa belum ada konsultan Mudlogger. Itu adalah tujuan saya.
Kasus mas Yusuf, kembali kepada tujuan kita bekerja adalah untuk menyenangkan anak (sekalipun kalau sudah besar belum tentu mereka bersikap sama), maka pilihan kembali ke dunia belantara jalan-tambang boleh jadi sudah oke. Apalagi konon sedang mempersiapkan CEO baru di Madurejo.