Makan lezat tapi kemrungsung alias tidak relax


Katakanlah ini gejala seseorang menapak masa senja yakni melorot angka sabarnya.

Misalnya saja saat makan All You Can Eat. Sudah tahu bahwa kita boleh makan sampai kenyang, tetapi saya malahan tidak ambil makanan sama sekali. Pasalnya disepanjang hidup – kita terbiasa lapar sebatas pandangan mata. Seperti orang berbuka puasa.

Semua makanan mau dimasukkan panci, akhirnya saat perut membengkak, makan menjadi pelan, makin pelan dan tersisalah makanan yang bagi sebagian orang yang tak mampu bermimpipun tidak akan makan direstoran semacam ini.

Untuk menutupi malu lalu – keluarlah jurus ngeles – AKU AMBILIN KAMU KOK.

Akibatnya setiap makan sejenis beginian saya hanya ikut gabung makan ngerusuhi alias meriung apa yang sudah ada di panci mendidih. Dan berulangkali mengingatkan “habiskan makananmu.”

Terasa mengganggu memang, apalagi kalau penganan tersebut ditraktir oleh orang lain. Hanya bagi saya makan termasuk juga sarana tuntunan bukan sededar tuntutan mata.

Mudah-mudahan dikemudian hari kelak jejak aneh saya diingat anak dan cucuku untuk tidak memubadzirkan makanan.

Dapur Betawi


Dapur Betawi masakan Batavia minus Gabus Pucung
Dapur Betawi masakan Batavia minus Gabus Pucung

Lokasinya di Jalan Raya Jati Asih.  Cukup strategi sebab ada Mini Mart dan ATM dalam komplek tersebut.

Dapur Betawi dalam artian harfiah menurut para ahli mengenai Betawi adalah dapur yang langsung connect dengan teras di belakang rumah. Akibatnya banyak orang Betawi kongko-kongko justru di dapur, bukan di ruang tamu.

Menjelang hari H-3 kami mulai kesepian dan kerepotan lantaran ditinggal para asisten selama bersama kami. Rasanya pas juga berbuka puasa sambil mencobai “mudik” di kedai-kedai yang selama ini cuma dilewati saja.

Diiringi lagu TapianUli (?) yang cukup keras menyetelnya maka mengalirlah menu berupa Gurami Goreng, Tahu Sapo, Cah Kangkung, Sambal Gowang (serba mentah).

Waktu menunjukkan mendekati pukul 19:00 – lalu saya pesan Es Kelapa muda, ternyata sudah tandas dipesan pengunjung lain. Terakhir saya minta tambahan es teh tawar, itupun diberi jawaban “maaf pak Es batu sudah habis..

Jadi kalau anda kepingin mencoba masakan di Dapur Betawi yang mirip masakan sunda ketimbang Betawi ini, jangan terlalu malam. Bisa bisa sudah kehabisan.

Dan satu lagi, jangan pesan Nasi Goreng, terlalu biasa-biasa saja masakannya (salahnya saya sering coba sana sini).

Nomor tilpun dapur betawi di Jalan Raya JatiaAsih
Nomor tilpun dapur betawi di Jalan Raya JatiaAsih

Saat keluar saya amati seorang bapak kurus berpeci dengan memelas menjajakan buku dan peralatan ibadah. Mulai menginjakkan kaki ke Kedai ini sampai hampoir keluar tidak satupun pengunjung mendekatinya sebab buku jenis yang biasa dijajakan di Bus-bus AKAP. Menjilidnyapun kadang terbolak dan terbalik. Saya pernah beli buku berjudul atraktip, Harry Mukti menjadi Dai, begitu saya buka isinya dua lembar adalah klipping soal Harry Mukti yang kita sudah sering dengar. Sisanya copy dan paste ceramah entah dari mana tidak jelas.

Alhasil saya lebih berminat melihatnya termenung, kadang menyeruput kopi tubruk, temannya berbuka. Bisa dibayangkan betapa ia harus menceritakan kepada keluarga yang menyambutnya di rumah “dagangan sepi, mana ada orang mau baca buku agama…”

Sebuah tasbih yang katanya “anu iye lima rebu rupiah” – kira-kira begitu dalam bahasa Sunda, langsung saya ambil satu, sementara lembaran hijau yang baru saya ambil dari ATM sebelah saya berikan sembari mengatakan, “sisanya bapak ambil ya..”

Hidup diatas usia 55tahun, saya masih melihat kerabat, sohib saya lebih pandai memberikan sumbang berupa “komentar dan saran” – namun kalau urusan lebih fisik, ada saja dalih untuk ngeles.

Bahkan beberapa tahun lalu saya pernah memberikan dana kedalam kotak amal (besek bambu) dalam sebuah upacara besar Idhul Fitri. Langsung uang saya disambar oleh “seseorang” disamping saya, dan ditukar uang pecahan yang lebih kecil lagi. Orang ini dimana-mana saja menyampaikan dakwah walau satu ayat, tetapi soal pergaulan kesamping, nilainya buruk sekali.

Dalih-dalil “ria” atau sombong, “mengajari mereka tambah malas”dan sebagainya deras mengalir sehingga ujung-ujungnya, supaya jangan riya, mending tidak bersedekah sama sekali.

Jadi ingat tayangan PPT-2 (Para Pencari Tuhan jilid 2) – digambarkan juragan Kosasih yang kaya raya selalu saja berdalih “di musyawarahkan” – setiap kali ada permintaan sumbangan. Kendati sumbangan untuk wuwungan sekolah yang tinggal menghitung jam untuk roboh.

Mudah-mudahan “maafkan kalau terkesan sok” – setelah perut kenyang, pikiran untuk berbagi dengan sesama lebih mudah terbuka.

Madurejo – dari Manager ke Retailer


Kawan saya Yusuf Iskandar sudah lama saya “ojok-ojoki” maksudnya diajak agar mau menuangkan tulisannya dalam website. Tetapi sebegitu lama belum tergerak hatinya. Padahal ia pernah menulis sebuah restoran di Yogya, oleh Kompas diberi voucher makan gratis. Mungkin masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai Planning Manager di Louisiana, Amerika.

Lalu pesta mulai usai. Setelah hidup bak pangeran di Lousiana mendadak terjadi “tour of duty” – ia dipindahkan kembali di kawasan gunung yang dingin di Papua. Yang tidak disangka sangka intrik-intrik perebutan kursi jauh mengalahkan profesionalisme seseorang. Teman saya mulai disingkirkan.

 

Suatu hari ia mengirim email meminta pendapat saya jika ia minta pensiun dini. Saya hanya bilang Mas kita ini ibarat PRT. Kalau majikan sepertinya sudah emoh kepada kita, maka pada hari itu juga nilai kita melorot dimatanya. Namun kalau kita mampu busung dada, balik kanan langkah tegap, biasanya keahlian kita yang selama ini dianggap sepele mulai terasa kegunaannya. Selama ini kita dianggap pelumas pada engsel pintu. Begitu minyak kering pintu mulai sulit dibuka dan suara berderit memekakkan telinga.

 

Tapi kalau kita tetap bertahan diperusahaan sambil menangis bombay menjual kesedihan, makin lama kita bertahan semakin tak berharga dimata perusahaan. Lupakan slogan perusahaan yang tertempel didinding kantor bahwa “karyawan adalah aset utama perusahaan.”

Akhirnya ia memang pensiun dan uang tabungannya langsung dijadikan modal usaha membuang warung ritel yang diberi nama Madurejo. Ternyata memang memulai usaha itu alot.

Kadang niatnya maju jadinya ahtret, sementara anak-anak melihat bapak kerjanya tiduran saja dirumah lantas mulai keluar pertanyaan kritis seperti juga pertanyaan bathin tetangga, kerabat dan semuanya. Yusuf seperti ingin mengatakan “Kalau kesusahan sedang datang, kok ya datangnya berjamaah, kadang se batalion berbarengan.” – Belum selesai satu masalah datang masalah lain silih berganti. Dan sebagai penulis ia merekam sesenggukannya dengan gaya kocak namun rinci.

Akhirnya selama dua tahun ojokan saya perlahan mempan juga. Sekarang ia menulis kesannya membangun Ritel Madurejo dalam blog yang diberi alamat  www.madurejo.wordpress.com

Gunung Kawi


Ceu Eem mempunyai tangan “midas” kalau soal mengolah kopi tubruk dan mie rebus. Apalagi perempuan muda ini, layaknya orang Priangan, selalu tersenyum ramah melayani pelanggan. Yang membuat saya tak habis pikir, bagaimana mungkin dari resep yang satu pabrik tetapi menghasilkan masakan kebul-kebul yang di”slurup” rasanya gleg nyem-nyem.  Mulai dari membengkaknya batangan mie yang tidak terlalu empuk namun tidak juga bantat, derajat kekenyalan telur rebus yang berenang seperti ubur-ubur dipermukaan mangkok plastik beriklan bumbu masak. Rasanya jauh berbeda dibandingkan kalau yang meracik adalah bang Emon sang suaminya.

Dua puluh tahun Eem bertahan dengan kedai Inter Milan (Indomie termasuk camilan) yang kalau saya ambil foto kedainya sulit dibedakan tumpukan kotak sabun dan perumahan kumuh ala kelompok anggota DPR (Di Pinggir Rel).  Lalu pada malam hari muncul “Deni” jagoan “sreng-sreng” nasi goreng. Rambutnya sebahu dengan badan kurus meramaikan suasana makan “asal wareg” di kawasan Muwardi Raya.

Belakangan Denni memotong rambutnya bukan karena sekarang ia sadar bahwa restoran besar mengharuskan koki bertopi dan memelihara ramput pendek agar ketombe dan rambut tidak menjadi menu tambahan masakannya. Namun gara-gara saat ia alih profesi “pacokan” alias supir bajaj tembak , para pelanggan terbirit melihat pengemudi berwajah sangar.

Ada empat repelita, Reem dan Danni berjualan. Sayapun sudah lama tidak merasakan masakannya.  Bosan dengan menu yang sama sehingga belum dipesan sudah terbayang rasanya.

Ternyata pelanggan lainpun sepertinya berfikiran yang sama dengan saya. Perlahan tapi pasti, kedai mereka sudah mulai renggang didatangi pembeli. Emon kembali menambal(l) penghasilan dengan menjadi Tukang Cokot – alias pembantu tukang batu. Sementara Denni, matak aji “katak melompat” – menjadi pengojek, pebajaj, dan kembali ke nasi goreng lima ribuan.

Namun, belakangan, selain dagangan sepi, periuk nasi mereka seperti terusik. Pasalnya,  Bang Kumis, seorang pedagang Soto Tangkar membuka kedai di kawasan kami, dan mendadak sontak namanya moncer. Dengan hidangan andalan Soto Tangkar, Nasi Putih bertabur bawang goreng semangkin “goceng” maka pemain lain seperti Eem dan Danni mulai tersodok.

Seperti biasanya, walau terbiasa kalah namun kita selalu saja sulit menerima kekalahan. Lalu maraklah isu “Aji-aji Gunung Kawi,” atau aji pengasihan yang diyakini sementara orang mampu mendorong pembeli kerap berbelanja di toko kita. Saya pun ikutan menyemarakkan pergunjingan dengan teori pendekatan “Feng Shui” asal.

Menurut saya bisa jadi Fengshui Bang Kumis cocok dengan tempat barunya. Lagian ia menyajikan resep goyang lidah yang baru yaitu Soto Sapi. Rasanyapun setelah saya cobai, cukup “nikeemat” – untuk semangkok soto daging dan sepiring nasi senilai “gocengan.”

Akhirnya melalui sidang pendapat yang seru, bang Kumis hanya boleh buka kedai siang hari. Rupanya “rejeki dari Gusti Allah tidak bakal tertukar,” masih wacana “buat orang lain” bukan untuk diri sendiri.

Gado-gado pemenang lomba se Jakarta


Diantara hiruk pikuknya para lai-lai (panggilan kepada lelaki Batak) menawarkan dagangan mulai dari keramik, palsuan tas bermerek, jam, kacamata tiruan di Pasar Ular Jakarta Utara yang sekarang bernama jalan Kebon Bawang V, maka posisi warung lotek atau gado-gado ini hampir terlewatkan kalau bukan sebuah tulisan “Juara Lomba Gado-Gado Ulek.”

Apabila ada orang bertanya makanan apa yang paling banyak dibuat karena paling banyak digemari maka jawabnya adalah Gado gado.”  adalah salah satu tulisan yang merupakan ucapan selamat datang kepada pengunjng pada warung yang sekaligus rumah tinggal mereka. Saat itu kedai ditunggui nenek Koordia dengan cucu perempuannya.  Perempuan berusia sekitar 60an ini mengaku yang membuka lapak gado-gado ulek sejak 1985.

Saya sempat membaca tanda penghargaan dari panitia penyelenggaranya berjudul “Perjalanan Mencerdaskan Bangsa.”  Beberapa klipping koran dan tanda penghargaan nampak sudah sobek disana sini.

Riwayat warung berawal saat Jaja, suaminya seorang pelaut mengalami kecelakaan lalulintas sehingga berakibat kakinya putus sehingga tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari.  Disaat itulah Koordiah dengan bermodalkan uang Rp. 7500 mulai membuka usaha gado-gadonya.

Mula-mula sepi, tetapi lama kelamaan mulai dikenal orang,” kata perempuan kelahiran Cirebon yang mengaku justru tangannya pegal kalau tidak mengulek gado-gado, sehari saja.

Kata Mutiara menghias dindingSaya memesan sepiring lotek lontong sambil membaca klipping yang tertempel didinding warungnya.  Rupanya hal ini menarik perhatian sang cucu sehingga bertanya “bapak orang asing ya?” – Ya sih dari Bekasi terdampar ke Tanjung Priok, bolehlah terbilang orang asing.

Menurut saya ramuan ibu Koordia sedikit manis namun mungkin justru itulah yang membuat ia memenangkan lomba se DKI an mendapatkan hadiah Rp. 25 ribu dua puluh tahun yang lalu.

Menilai bakat dagang anak kita


Pernahkan anak anda minta dibelikan Kulkast yang gede agar bisa jualan es mambo, atau bermain kelereng, jual karet gelang, layangan, gambaran, yang kalau menang lalu dijual. Kalau jawabnya “Ya” – maka kemungkinan besar putra-putri kita memang calon pemenang dalam bisnis. Namun kalau jawabannya “Tidak” – maka kendati gelar Management Magistratenya sampai tumplek blek didepan namanya, dia bakalan jadi pekerja sepanjang hayat dikandung badan. Contoh di atas adalah metode “bodonan”. “Pokoke kalau sedari cilik belum pernah cari uang sendiri, sulit nantinya jadi pengusaha,” sebuah ungkapan dari seorang teman.

Sedari kecil saya yang disuapi benda berujut gajihan, rapelan, uang lauk-pauk memang sedikit nyeleneh tatkala sudah jualan koran, layangan, gambaran, butir kopi lesehan, kuaci, pisang goreng, membawakan dagangan ibu-ibu atau bapak yang belanja di pasar Kertapati, Palembang. Dimata beliau, saya cuma akan menimbulkan keresahan. Almarhum ibu bahkan bilang “kalau semua bilang biru, Mimbar akan berdalih cari merah..”

Jalan hidup sayapun akhirnya emang bekerja dengan orang lain. Menjadi orang gajihan.

Dari dua anak saya, yang pertama sudah tidak menampakkan bakat dagang, sementara yang kedua saat masih TK sudah mulai menggelar taman bacaan didepan rumah. Kelas satu SD dia menjual fotocopy catatan sekolahnya, bahkan sekaligus jadi “debt collector” lantaran satu temannya nunggak utang, dia bertindak keras. Hari sabtunya saya di panggil guru wali kelas. Sekalipun setelah kuliah nampaknya bakat terpendam, namun api dalam sekam semoga tetap tumbuh.

****

Sementara saya sendiri pertama di Grogol kami buka usaha jual beli komputer IPM Compatible. Tidak lama kemudian ditempat yang tidak berjauhan muncul kursus lesehan komputer, yang dibelakang hari berubah menjadi monster bernama BINA NUSANTARA. Perusahaan kami bangkrut lantaran pegawai pinjam uang, namun mencari obyek dengan jualan komputer di luar sepengetahuan kami.

Usai komputer, pindah ke pemborong mengerjakan gorong-gorong proyek rumah sederhana. Itupun tahun pertama berjalan mulus, tahun kedua kami sudah seperti gangster mendatangi penunggak yang kadang harus ditunggu sampai jam 4 dinihari.

Saat Grogol mulai mengenal gas ELPIJI, beberapa orang sering menitipkan tabungnya untuk “nanti diisi kalau truk gas datang…” Itulah saatnya kami mengintrodusir gas ELPIJI. Saya masih ingat melakukan pendekatan kepada petinggi di Jaya Gas Ancol, susahnya bukan kepalang. Kemudian, saat air AQUA diperkenalkan, kami segera ancang-ancang menjual AQUA. Namun karena dikerjakan serampangan. Usaha inipun berangsur-angsur diakusisi secara halus oleh pihak lain. Apalagi kemudian Tauke-tauke Cina mengikuti jejak kami dan biasanya mereka lebih berhasil. Inilah usaha saya pernah kerjakan diluar usaha Katering dan Restoran. Lalu istri mulai saya perkenalkan menjual jamu Keladi Tikus, yang sepertinya ia sudah agak malas lantaran para pembelinya patok harga “Harus Sembuh” – padahal dengan dokter melalui pembedahan-pun kanker jarang yang takluk.

Lalu bagaimana dengan perusahaan Gajahsora. Perusahaan inipun masih dikelola oleh pemiliknya yaitu mertua saya (78 tahun), semakin lamban antisipasinya namun semangkin tambeng, sehingga ancaman dari kompetisi luar seperti tidak pernah diperhatikannya. Istilah restoran, dulu pakai resep masakan yang sama saya berhasil punya rumah diatas bilangan jari satu tangan, sekarang mustinya ya tetap linear.
Akibatnya, dalam kurun waktu setengah tahun, diperkirakan perusahaan ini tekor 200 juta-an. Kadang istri sebagai anak tertua ikut cawe-cawe menangani perusahaan, biasanya berhasil mendongkrak omslag dagang. Namun begitu perusahaan mulai sehat, pemilik-sah ikut campur sehingga sebagai hormat kepada orang tua, istri saya larang ikut campur (sampai ada krisis muncul)…
Apalagi sejak kami menjadi manusia rawa dari Rawabogo.

****

Lalu wiraswasta yang saya inginkan adalah tetap berkecimpung di bidang minyak, namun tidak terikat. Itulah alasannya saya seperti mengudak-udak agar segera bisa di PHK (dengan pesangon tentunya) lalu bekerja di bidang sama sebagai konsultan. Setahun di Australia, tawaran untuk kembali ke Indonesia cukup gencar. Lalu saya pada Juli 2005 mengajukan surat pengunduran diri (tanpa pesangon), namun pihak Australia menahan saya, bahkan saya dijadikan pegawai tetap. Paling tidak untuk setahun lagi katanya.

Saya tetap ingin bekerja sebagai mudlogger, namun mudlogger tidak terikat. Pasalnya banyak perusahaan kecil di Indoensia yang dapat job namun kekurangan pekerja, dan ini merupakan ladang hijau gemuk bagi mudlogger untuk bekerja di perusahaan kelas RUKO. Ada konsultan Wellsite Geologist, mengapa belum ada konsultan Mudlogger. Itu adalah tujuan saya.

Kasus mas Yusuf, kembali kepada tujuan kita bekerja adalah untuk menyenangkan anak (sekalipun kalau sudah besar belum tentu mereka bersikap sama), maka pilihan kembali ke dunia belantara jalan-tambang boleh jadi sudah oke. Apalagi konon sedang mempersiapkan CEO baru di Madurejo.

Warung Mbak Diah – Yogyakarta – Taman Mini Makanan Indonesia


Rumus sukses dengan angka yang membawa Hokkie. “618 25 20”

Ini bukan deretan nomor tilpun di Jakarta Pusat melainkan rumus sukses sebuah rumah makan cepat saji di jalan Perumnas Seturan Yogyakarta. Waktu saya tinggal dulu, kawasan ini cuma ada sawah ditanami padi, tumbuh wereng. Sekarang ditanam pasir tumbuh anak kos-kosan. Warung tenda yang cukup besar ini dibuka dari jam 6 pagi sampai jam 18 malam, tersaji dengan 25 menu dan 20 lauk pauk.

Tidak percuma warung yang dikomandani oleh Sudarman, 9 tahun lalu ini, mengambil nama DIAH dari nama kedua puteri pemiliknya yaitu Diah Anggraini dan Diah Pratiwi, menjadi kondang dikalangan mahasiswa, keluarga, orang kantoran. Oleh Sudarman, sang pemilik visi perusahaan ini adalah “The Perfect Place to Enjoy”. Indonesianya, seperti di rumah sendiri gitu lho.

Perkenalan dengan warung ini dimulai ketika saya diajak mahasiswa-I Yogya menikmati hidangan ala mahasiswa. Maklum warung favorit saya “mbok Ponco” sudah menjadi bagian sejarah ketika dijadikan Melia Purosani dan saya kehilangan Tempe Bacem, Wedang Jeruk Nipis Panas dan Gule yang waktu lidah masih sensitip, “enaknya ora-jamak-jamak.”

Begitu masuk ke warung tenda ini saya sedikit bingung lantaran melihat 25 menu plus 20 jenis lauk pauk. Bagi yang pernah mengais rejeki dengan usaha semacam restoran, bisa dipastikan menyediakan menu seabreg itu bisa bikin mumet lantaran tidak setiap bahan baku selalu tersedia, atau kalaupun ada biasanya tempatnya terpencar.

Aneka menu yang disajikan meliputi sayur urap (gudangan), trancam, sayur bening, sayur asem, sop sayuran, lodeh terong, lodeh kacang panjang, sambal goreng jipang, oseng-oseng pare, oseng- oseng kangkung, oseng-oseng buncis, sambal goreng tempe, oseng-oseng tempe gembus, ca sayuran, sayur gori, acar ketimun, lalapan dan sambal trasi, bakmi goreng, soun pedas, sambal goreng jagung muda, oseng-oseng daun papaya, daun singkong, balado terong, telor balado.

Sedangkan lauk pauk tersedia ayam goreng tepung, ayam bacem, bacem rempelo ati, telor dadar, telor ceplok, ikan tongkol goreng, ikan nila goreng, ikan emas goreng, tahu asin, tahu bacem, tempe goreng, tempe mendoan, rolade telor, telor asin, bergedel kentang, ikan asin.

Semua menu itu dimasak oleh ibu-ibu dan wanita dari berbagai daerah, supaya bisa mengadopsi aneka rasa yang mewakili selera konsumen dari berbagai jenis. “Supaya memasaknya dengan rasa kasih pada keluarga,” kata Sudarman. Tak kurang dari 25 tenaga dikerahkan untuk menyiapkan menu warung makan ‘Mbak Diah’ tersebut. Konsep menunya sederhana, yakni back to nature, dengan menyajikan banyak bahan berserat dan bergizi. Bahkan, beberapa komoditi bahan masakan, diusahakan sendiri di kebun milik keluarga Sudarman.

Eh ngomong-ngomong apa, nama “Mbak Diah” ini selalu membawa Hokkie ya. Pasalnya bekas direktur saya yang cantik itu juga namanya Mbak eh Ibu Diah, lengkapnya Diah Sunarti Sulasmo.

Teh Cap Teh Botol


Sekitar tempat saya berhobby memelihara ikan gurami di Citayam-DEPOK, persisnya (nggak persis bener) komplek Departemen Pertanian ada penjual Sate Ayam yang mangkal disana. Disebelah selatannya berjajar seperti pulau, para penjual penganan yang lain seperti Ayam Goreng, Kue Pukis, Gorengan Singkong dan Bubur Kacang Ijo. Sepulang dari kolam, biasanya hari sudah malam dan waktunya makan malam, sehingga saya menyempatkan diri mampir “mengudap” disana.Begitu kita melemparkan tubuh ke bangku disana, lalu mendengarkan mereka berbicara dengan dialek mereka, sejenak kita dibawa ke salah satu pulau di Timur Pulau Jawa yaitu Madura. Para penjual disitu hampir seluruhnya dari Etnik Madura, tetapi jangan harap bisa mendengarkan dialog seperti pelawak Kadir. Mereka bercaka-cakap secara cepat dan sulit dimengerti oleh orang yang tak mahir bahasa Madura.

Penjual Sate tersebut, kami memanggilnya cak Pai, sangat ramah dalam melayani pelanggannya sehingga kami harus rela berjajar-jajar antri. Maklum selain harganya miring, dan potongan dagingnya cukup besar.

Sambil menunggu sate dibakar, saya memesan minuman Teh Botol kepada salah satu asistenyan Cak Pai. Menilik wajahnya, nampaknya ia baru bergabung dengan kedai Cak Pai.

“Teh Botol yang dingin!,” pinta saya.

Sang asisten menghilang sebentar, lalu tidak lama kemudian muncul dengan sebotol minuman dingin, COCA COLA!.

“Lho saya pesen teh botol kok,” tanya saya keheranan.

Sekarang saya melihat wajah sang asisten yang masih seusia anak SMP ini gantian bingung. Tapi sudahlah, lantaran sudah lama menahan dahaga akibat seharian berjemur dibawah terik matahari dikolam ikan, tanpa banyak tanya “Coca Cola” saya teguk, glek,glek,nyem. Ah segarnya.

Beberapa hari kemudian, kembali saya memesan Sate dan Teh Botol. Tapi kali ini untuk menghindari salah ambil minuman, saya jelaskan apa keinginan saya.

“Maaf, jadi Bapak pesen Teh Botol yang Capnya apa?,” tanya asisten tadi.

Saya sedikit kehabisan kata-kata, pertama pertanyaan ini lucu bagi telinga saya, kedua saya sedang merekam mimik wajahnya, untuk saya buat cerita.

Untung Cak Pai pandai membaca situasi dan kondisi. Langsung ia bilang, “Bapak ini pesen Teh Botol Cap Teh Botol, yang warnanya Cokelat, yang dingin.”

Bocah lugu itu langsung mengangguk tanda mengerti lalu menghilang ke warung sebelah yang menjual minuman. Kali ini ia muncul dengan wajah berseri dia datang dengan sebotol Teh Botol Sosro dingin ditangannya. Sejak itu kalau pesan minuman, saya akan bilang “Pesan Minuman Dingin, Cap Teh Botol, Warenanya Cokelat”.