Mengantar Orang Lampung ke Tanah Suci (1)


Inilah wajah ayah saya R. Soeratman. Kelahiran TelukBetung -Lampung. Disebelah kanannya adalah Vivi (ungu) memeluk putri sulungnya Arwa (biru muda).

Vivi adalah adik paling bungsu (no 10), tercantik namun paling judes sekeluarga. Menikah dengan Janggam sang suami yang lebih banyak “iya” kepada istrinya ketimbang tidak. Setelah menikah Vivi diajak tinggal di Amerika sampai lahirlah Arwa, Tabhina, dan Ashraf. Bulan Desember 2007 mereka sekeluarga ke tanah air untuk menunaikan ibadah haji.

Lho kok tiba-tiba permohonan Visa Amerika mereka langsung ditolak sehingga daripada kelamaan menunggu sang suami langsung ke Aceh bergabung dengan FAO.

Lantas cewek berkacamata dan jilbab coklat adalah keponakan saya Shita yang mengeluh kalau mengajar para Abdi Negara selalu dihadapi wajah mengantuk atau pertanyaan yang lebih banyak menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki antusias pada mata pelajaran bahasa. Mungkin keponakan saya Shita masih ingat pengalaman menjengkelkan sehingga tanpa disadari mulutnya mecucu (monyong).

Di sebelah Shita adala Nyonya Budi Utami ( Coklat) adik saya nomor empat. Bapak sering menyebut bahwa adik saya ini seperti representatif saya. Ia dengan mudah menarik kulit mukanya, melucu, persis saya kakaknya. Kebetulan sang suami bernama Budi Sarjono sehingga pasutri Budi Kwadrat ini membuat keponakan saya yang lain lagi Ashraf berkomentar dalam bahasa Inggris Amerika tempat ia dibesarkan “are you planned ?” – maksudnya apakah nama keduanya memang direncanakan.

Budi Utami memiliki mantu yang bekerja di Boston – Amerika. Lalu mereka menikah di di Palu, Sulawesi, seperti pasangan Vivi dan Janggam, sang mantu mengajak istrinya ke Amerika. Lagi-lagi Visa mereka ditolak sampai sekarang.

Lalu disamping Nyonya Utami adalah keponakan saya Meggi jilbab putih.

Usianya ayah mendekati 80tahu kurang sedikit. Giginya masih utuh, matanya masih jelas menatap pertandingan bola, penyakitnya ya masuk angin. Dengan usia segitu tak heran mulai pikun, kekanakan dan mudah sekali mengambek. Ia seperti Bom Waktu susah dideteksi kapan meletus. Habis bercanda, bisa saja tiba-tiba beliau “minggat” meninggalkan arena pembicaraan. Rupanya ada yang tidak berkenan dihatinya. Itu termasuk jika kami mengeritik Amerika, misalnya.

Akhirnya permainan hidup kami ganti, saya menjadi figur seperti ayah sementara ayah kami tempatkan sebagai anak paling bungsu sehingga setiap kemauannya sepanjang masuk akal kami ikuti saja.

Dari istri pertamanya (ibu saya) Ayah mendapatkan anak 10 dengan saya sebagai anak tertua. Hidupnya mustinya kepomo bahasa jawa lumayan dengan pensiunan sebagai bekas pejabat, bantuan sekedarnya dari anak-anaknya.

Namun kelemahan ayah seperti juga kakek saya adalah tidak bisa melihat perempuan cantik. Hanya dua minggu ibunda meninggal ia sudah kecantol Janda beranak enam hidup dengan dengan dua cucu dan mantu yang tak seorangpun berpenghasilan tetap. Malahan belakangan ada anak tirinya yang tersangkut perkara Narkoba. Duh…

Singkat kata sekalipun kami anaknya belum legawa, namun ayah tetap keukeuh harus kawin dengan mantan biduan dangdut Lampung dan sebetulnya teman kami bermain. Kami masih egois ingin ditemani ayah tentunya menolak ibu transplantasi ini.

Bapak masih beranggapan kami anak kecil sehingga ia langsung gedruk bumi dan merapal mantra “rawe-rawe rantas malang-malang putung” – Kami anak-anaknya bereaksi negatif. Tapi dalam hati saya menertawakan diri sendiri. Ternyata mengucapkan dalil seperti para ustad di TV bahwa menolong Janda dan anak Yatim pelaksanaannya tidak semudah mengedipkan mata dan membalikkan telapak tangan.

Di usia senja Ayah yang seharusnya menikmati masa tuanya bersanjo (palembang bertandang) kerumah anak dan cucu, terpaksa harus berakrobat mencukupi kebutuhan anak dan cucunya yang baru.

Saya sempat berujar “masa senja harusnya sibuk mencari jalan pepadang (jawa pencerahan), kok baapakku sibuk cari jalan bayi (vagina).” – kalau saya yang menyentil berbalut humor biasanya beliau ngakak.

Alhasil, tabungan untuk naik haji berdua ibunda ludes. Dengan cepat cincin emas, permata yang semula disimpan di kotak perhiasan ibu entah kemana rimbanya. Duh..

Ayahpun ogah kalau diajak bicara soal naik haji. Ternyata kakekpun kalau jatuh cinta persis anak ABG. Kami sampai bosan mendengarkan cerita ayah soal kehebatan istri barunya. Lha kami tahu “pok bengkong” ulah dan karakter sang “bidadari ayah” sejak masa anak-anak di tangsi polisi Duren Payung -Tanbjung Karang dahuku. Dari dulu kami memandangnya sebagai orang yang tidak diperhitungkan. Kok ndilalah berhasil masuk mulus dalam kehidupan keluarga kami melalui ayah.

Sampai suatu ketika beliau seperti ngebet sekali ingin naik haji. Jalan keluarnya sementara ini kemauannya kami plintir dengan mengumrahkan beliau kebetulan adik saya Utami saat ini didapuk (menjabat) sebagai IMF keluarga. Dia bersedia menalangi ongkos perjalana Umroh bapak dengan seorang pendamping. Maklum makin senja usia, ayah justru makin menjadi hobbi ngobrol keseantero tetangga.

Lha kalau di tanah suci, bisa berabe kesasar dari pasar seng ke pasar Chop-chop. Andai saja bapak mengenal internet, bakat mengobrolnya bisa disalurkan melalui milis atau blog.. Halah ini ngomongi bapaknya atau aku sendiri sih?

Maka tatkala para rakyat Indonesia merayakan hari Kartini, kami sudah berada di terminal udara Cengkarang mengantar ayah.

Dan pada kesempatan yang langka ini, sejenak sebelum masuk keruang pemberangkatan, bapak yang ngotot minta baju seragam umroh dijahit mirip jas, berfoto diapit saya dan adik. Adik saya Utami kebagian “pulung” menjahitkan bahan seharga 50 ribu menjadi jas dengan biaya jahitnya tak kurang 15 kali lipat biayanya.

Sayapun spesial mengenakan kemeja dan sepatu sebab dimata ayah, sepatu keds dan T-shirt adalah pakaian olah raga dan tak patut dipakai dalam acara setengah resmi sekalipun.

Diantara mereka bertiga saya terang lebih unggul. Pertama saya berbadan lebih besar dan berambut lebih irit.

Adik saya, dr. Agus, karena disiplin ilmunya banyak menjadi penasihat kesehatan keluarga.

Mudah-mudahan, sepulangnya dari Umroh ayah menjadi lebih sabar.

Rasanya kepingin punya figur ayah yang dikangeni, ditunggu setiap kedatangannya oleh anak dan para cucunya. Mendongeng masa kecil putra-putranya agar bisa menjadi contoh bagi yang lebih muda. Bukan ditakuti dan dijauhi karena mudah marah.

Mungkin anda bertanya, yang mana “bidadari” yang sedang digandrungi ayah? – rupanya perempuan itu tahu diri sehingga tidak ingin mengganggu kebahagian kami dengan kehadirannya yang tak dikehendaki. Memang dilema bagi bapak. Tapi itulah resiko yang harus diambil.

2 thoughts on “Mengantar Orang Lampung ke Tanah Suci (1)

  1. Setelah mbaca postingan yang satu ini, saya teramat sangat berdoa dan berharap supaya pepatah like father like son tidak berlaku buat sampeyan ..

    Jawab: Itulah yang saya kuatirkan. Kakek sayapun seirama. Bapak marah sekali ketika sepeninggal nenek, maka kakek Salatiga berniat mengambil istri jauh lebih muda. Lho kok hujan nggak jatuh mengucur jauh dari talangnya ya… Duh…
    Tapi memang saya sengaja menulis keluarga tanpa tedeng aling-aling tidak selalu penuh glory dan victory. Saya mengenal keluarga yang kakeknya cuma bisa mengisap candu, namun cucu-cucunya bercerita penuh kemenangan. Saya pikir kurang mendidik sebab mana ada para narkobawan yang perduli terhadap keluarganya

    Like

Leave a comment