Urung Panen


Mbak Tini Urung Panen Kelapa Gara-gara Hutan Terbakar
(No Palm Oil Harvest for Tini)
Sebagai pekerja di Singapore – mbak Tini tergolong sangat berhemat akan pengeluaran. Tidak ada daftar jalan mejeng di Orchard Road, atau pakai Sepatu Boot dan Baju Berbulu.. Minggupun ia memilih tinggal di rumah.

Bertahun tahun meninggalkan keluarga mengais dollar demi dollar ia kumpulkan dan dikirim ke kampung agar bisa dibelikan sebidang tanah yang mereka tanami Kelapa Sawit…

Namun panas berkepanjangan – ditambah pembakaran hutan ternyata terjadi juga didaerahnya di Sumatra.
Maka gagal sudah impiannya menambah tabungan kocek ibu beranak satu ini..
IMG_0008

MANULA – Friendly


Sering menerima artikel dari BBM atau WhatsApp – berupa renungan bagaimana menghormati orang tua. Bahkan kadang kalimat “cucuran air mata” seakan mudah mengalir. Tapi umumnya masih sebatas diatas kertas atau layar HP.P1080761

Sebuah mesjid, menyediakan KURSI khusus buat para manula yang umumnya karena kesehatannya sudah kesulitan untuk bersujut.

Bahkan Kursi Rodapun disediakan seperti nampak pada gambar yang saya jepret pada 2 Oct 2015 ini.

Makanan Ziarah


IMG_0087Pada September 2015 lalu, Mertua saya “Bu Marwi” genap setahun meninggalkan kami. Sebuah “peringatan” kecil diadakan di Grogol.  Biasanya salah satu anaknya melangkah ke depan untuk berterimakasih kepada tamu yang sudah datang.

Namun yang digadang-gadang ternyata tidak datang, kendati bocoran sudah dapat sih, dan saya yang cuma mantu dapat tugas “mendadak ngomong”. Sejujurnya saya merasa tidak memiliki legitimasi, namun mereka memaksa keluar sebagai ban serep.

Disini repotnya.. usia senja biasanya orang tanpa sadar cenderung berkotbah…Kotbah di atas Bukit, Kotbah di atas Huma, Kotbah di atas penderitaan, Kotbah di atas keypad..

Di Hulu suka Menyampaikan Pesan.. Yang di Hilir  Suka Bosan mendengarkannya. Sampai-sampai menjadi kelompok para Pen-delete-yang budiman.

Naskah saya ketik satu setengah spasi, font times roman 12, dan jadilah satu setengah lembar A4..

Waktu di cetak, pakai acara tinta hitam kering sehingga kebiruan tipis lamur-pun jadilah.. Ketika waktu saya tiba – Saya pamerkan ketikan ini didepan hadirin dengan gaya “RIN dan ROT mohon ijin baca terimakasih” – Tapi tidak ada yang menjawab “Laksanakan…”

Saya lihat wajah hadirin sepertinya “okaylah-ngampet lima menit… makanan aja kalau baru lima menit jatuh ke lantai masih boleh dieleg..”

Saya lalu cerita – kebiasaan beliau mengudak-udak warga DPR (kumuh deket rel) yang punya balita, untuk dibawa ke Posyandu, ditimbang, dikasih Susu, Mie Instan, kadang Biskuit, dan vitamin…” – saya pura-pura mengeluh – jaman dulu, dikasih gratisan malah  main petak umpet alias menghindar Plumbir. Kok kalau sekarang boleh baku injak, baku sikut… Kalimat terakhir agak gojak-gajek mau saya tulis.. Kesannya kok “Sindroma Masa Lalu Kok Enak”.

Lalu dari beberapa cerita lain, saya beralih kepada kuliner warisannya yang masih meninggalkan rasa Gleg.Nyem..Nyem..  Ia jago memasak GudeG Yogya.. Syaratnya  krecek (kulit sapi)  dan Gula Jawa kudu keluaran pasar MbringHarjo Joyodiningrat – dikirim pakai titipan KOBRA. Kalau Rendang Kondang butuh 4 jam menghasilkan makanan berwarna Hitam namun tidak overcooked, Ibu memasak Gudeg jauh lebih lama lagi dan tidak pernah Over atau UnderCook. Kadang ada pinggiran buah nanhgka yang sedikit gosong, tapi kok malah nyem-nyem.

Satu paket dengan masakannya adalah Opor Ayam, Sambel Goreng Krecek, Ayam Goreng ala Suharti. Bahan dasarnya harus Ayam Kampung keluaran Mas Surono dari Pasar Grogol.. Semua tidak bisa di tawar.

Dulu kalau salah satu keluarga sakit, para Dokter tidak mau dibayar, sebagai gantinya kami kirimkan Ayam goreng buatan Mertua.

Beliau juga ciamik dengan Siomay.. asal tahunya khusus keluaran Babah Cina.

Tahu ini andalan beliau sebagai oleh-oleh kalau bepergian ke Yogya. Seperti halnya orang Jakarta beli Bakpia Kurnia dari Malioboro.

Keahliannya memasak menyelamatkan ekonomi keluarga ketika diterpa gelombang finansial, Gudeg Yogya bu Marwi tampil… Sampai akhirnya menapak menjadi katering. Sayang pabrik yang dikateringin pada gulung tikar.

Namun ada masakan yang cuma kami (mertua dan menantu) yang “ndakep ngthekhut – telap – telep” ini istilah beliau juga.. Mungkin terjemahannya ngangkangin.

Masakan ini membuat kami  berdua ibarat “partner in crime” – Asal ibu mertua mengeluarkan spesial dishes ini anggota lain biasanya meninggalkan piring – seperti drama Korea yang harus tengkar di meja makan, lalu anak pergi merajuk.. tapi ini bukan.

Jam sudah menunjukkan pukul 20-an, maka ucapan terimakasih saya akhiri – dengan kata penutup “Sejak itu Sambel Goreng Pete dimata saya menjadi Kuliner Ziarah.. Terimakasih.”

Tidak lama kemudian Nasi Kotak dibagikan – tapi tidak ada Gudek plus Krecek apalagi Sambel Goreng Pete.

Grogol 15 September 2015

Mendadak di ajak foto..


IMG-20150901-WA0006Kalau ingat peristiwa ini saya kudu malu kepada saya sendiri. Pertama saya hanya mengantarkan putra saya untuk bertemu dengan mas Deddy Corbuzier. Tempat yang ditentukan adalah Studio Hitam Putih..

Pagi-pagi – jauh hari saya sudah mengingatkan putra saya bahwa, bertemu kesohor, pejabat sama sulitnya. Artinya kudu siaga usus panjang.

Betul saja setelah 4 jam menunggu (tidak termasuk beberapa jam kami datang lebih awal agar tidak terlambat), maka putra sayapun dapat gilirna bertemu dengan orang yang dikaguminya – ilmu OCD – Obsessive Corbuzier Diet – yang memang membuat tubuhnya “jadi terbentuk” – padahal seperti bapaknya – ia memiliki tubuh “buah pir” yang katanya sulit membuat six-pack.

Dan satu lagi yang tidak pernah dibicarakan dalam OCD – bahwa jerawat anak saya hilang dan wajahnya seperti pria yang langganan salon muka. Padahal tidak.

Sebagai penulis buku, kemanapun saya selalu bawa buku saya. Tidak ketinggalan ketika mengantarkan putra saya.  Sekalian buat kenangan – saya berikan satu buku kepada mas Deddy Corbuzier.. Lain pengharapan tidak.

Lho kok pria yang semula saya agak  simpatik dengan saya bicaranya (ia masuk daftar tak saya sukai sama dengan  dengan Host Manatha), malah menawari untuk berfoto dengannya. Ya saya sangat terimakasih. Malahan sang manager yang memotretkannya untuk saya.

Terimakasih mas Deddy Corbuzier.. sebuah kenangan indah bagi saya.. Dan ternyata beliau tidak seperti setting yang ditampilkan dalam shownya.

Foto ini tidak saya gunakan buat mengiklankan buku saya.. Hanya saya menegaskan kalau anda bermasalah dengan wajah yang berjerawat… Ada baiknya mencoba diet OCD…

September 2015
Baru tahap simpati OCD

Kuliner Bayi


IMG_0120Cucu kedua saya -Nara (2-1/2bln) kerap ditinggal oleh orang tuanya – bekerja. Sama halnya dengan kakaknya Anya (2-1/2th)-dulu.

Lantas – untuk menghindari susu formula, oleh ibunya ia ditinggali makanan aseli yang disimpan di mesin pendingin. Ini memudahkan kami sang Kakek dan Nenek untuk secara teratur memberikan mereka makan saat orang tua mereka berada di Kantor.

LIMA SEPTEMBER

Setiap bungkus makanan bayi ini diberi label, dan dikeluarkan berdasarkan Azas Praduga – FIFO – First In First Out. Semua berjalan lancar – sampai pada suatu sore, bayi dua bulan lebih sedikit ini usek-usek menolak minuman yang biasanya kami sampai kewalahan melayaninya.

Setelah semua usaha membujuknya gagal, kami coba mengganti susu dengan label lain (maksudya tanggal berbeda), wela tala.. dia kembali minum dengan rakusnya. Glegeg-en lalu pulas.

Sampai sekarang masih belum jelas – gerangan apa yang dimakan oleh sang ibu sehingga ada perubahan rasa dan aroma makanan alamnya. Bayi “cengik” kok ya sudah tahu kuliner. Kalau ibunya makan sesuatu lantas bayi nggak ACC – kok bisanya menepis makanan.

Mimbar Saputro 30 September 2015

Kentut


Ketika keponakan saya (Sita) melahirkan untuk pertama kali, kami berkesempatan menungguinya di rumah sakit di bilangan Kalimalang.
Sang dokter Kandungan aseli orang Komering (Sumatera Selatan) dan masih tautan famili. Sehingga bisa dibayangkan suasana mirip reuni keluarga sekalipun sang Ibu masih nampak terisak. Maksudnya berfoto ria-sudah seperti ritual.
Terjadi dialog – apakah Sita akan melahirkan  ala C-section atau tidak..
Sita – keukeuh kepingin lewat jalur Normal. Merasakan sakitnya jadi seorang ibu, katanya.

Dokter Marzuki dengan kalem  hanya menjawab dalam bahasa Palembang..

Nak Lewat pinggir Pacak (bisa), nak lewat Bawah Jugo Pacak.. “- terjemahannya mau lewat sesar maupun normal semua bisa.. Yang pokok, bayi sehat juga ibunya..

Lalu perut Sita diraba- dan ia menggeleng kepala..

“Dak Pacak(nggak bisa)..musti di bedah… ” – posisi kepala bayi perempuan ini sudah miring kesana-miring kemari-tralala.

Maka dalam waktu satu jam, keluarlah jabang bayi perempuan dengan berat 3,2 kilogram, Panjang 48cm..

WA keluarga mulai ramai dengan komentar, doa di WA.. Dan semoga Tuhan juga punya WA dan sempat membaca status kami di Fb dan WA.. Maklum – dulu berdoa cukup di hati.. sekarang harus melalui WEA atau BBM atau FaceBook.

Satu status menulis ucapan selamat..

Wah Empat kilo, besar juga.. Selamat ya..-

Lho kok empat kilo sih.. Itu bayi atau Akua Gallon..

Buru-buru WA kami jawab terkoreksi – Woi sodara-sodara bobotnya 3,2 kilogram yang betul..

Ternyata, beberapa pesan masih menyertakan angka 4,0 kilo. Ternyata (lagi) budaya copy paste memang sudah kronis.. Berita entah benar atau salah – langsung disebarkan..Zonder dibaca.

WA dijawab 3,2 kilo bukan 4,0 kilo…! (ngambek)
Dijawab lagi ” kalau beda-beda tipis – jamak lah..”
Ini status atau lelang pasar Ikan..

Saya embahnya lantas mengubah cara penulisan simbol menjadi hurup…

Bayi Perempuan Beratnya Tigo Kilo Duo Mato (bahasa Palembang Mato=ons).

Nampaknya pesan saya segera dimaklumi dan tak ada salah tulis lagi.

KENTUT
Biasanya pasien pasca operasi baru boleh makan atau minum setelah bisa kentut.. Umumnya dibantu dengan distimulasi dengan suntikan yang baunya minta ampun..

Mujarobat – begitu Sita disuntik obat kentut.. tidak lama terdengar suara dut dut dut.. seperti berasal dari orang dewasa.

Nenek yang harusnya merasa senang kai ini nampak Gusar.. Yang membuat naik pitam pasalnya suara berasal dari Kakeknya yang kena transfer ilmu pindah raga..

Sita sendiri masih plompang plompong belum mau keluar suara dut..
Kalimalang 10 Sep 2015

Suzana, Changcuter dan Sepatu Hak


Ketika mendengar artis Suzana menghembuskan napas akhir di Magelang, Jawa Tengah pada Oktober 2008 saya hanya terbayang wajahnya yang indo, rambut ikal dikepang dua menampilkan gadis lugu dari desa dalam sebuah filemnya Bernafas Dalam Lumpur.  

Sekalipun bukan pemain lama, namun tahun 1960-an sentimen anti yang berbau Belanda masih kuat sehingga “bau Arab atau Pakistan” menguasai wajah perfileman kita. Akibatnya  pemunculan Suzana yang lain dari yang lain dalam kancah perfileman Indonesia, menyiratkan ia adalah artis luar biasa tahan banting dan ejekan tentunya.

Tahun 1966-an saat masih duduk di bangku SMP di Bioskop Enggal (alm) Tanjung Karang, Lampung saat berangkat sekolah mata kami terbelalak melihat baliho filem berjudul “Bernafas Dalam Lumpur” yang dibintangi Suzana dan Rahmat Kartolo. Padahal waktu itu usia saya belum cukup umur untuk tontonan kategori 17tahun keatas. Namun melihat penonton yang membludak sebisanya kami mengumpulkan uang, bahkan melakukan lobby kepada penjaga tiket agar bisa diijinkan membeli karcis dan menonton filem dewasa yang katanya penuh desahan. 

Begitu merasuknya filem sampai kami bisa hapal scriptnya seperti saat Farok Afero sang germo ingin merasai tubuh hangat perempuan desa “dengan tukang becak kau mau, dengan aku kau menolak..

Lalu layaknya anak-anak SMP penampilan kami sedikit banyak dimiripkan seperti bintang filem. Kadang kami saling mengolok teman yang korban mode “sudah jadi orang Indonesia saja syusah pakai “y”, ini kepingin jadi orang Arab.

Saat itu perkembangan filem belum lama berpindah dari hitam putih ke berwarna yang “diproses secara Technicolor di studio Hongkong” – sehingga ketika ada adegan betis dan paha mulus, kuning Suzana tersingkap dari kain batiknya dalam adegan perkosaan maka badan yang mengalami panas dingin global seperti Ken Arok mendesah melihat kain penutup betis Ken Dedes tersingkap.

Di sekolah, pak dan bu guru, para ahli tafsir, media masa mengecam baliho filem dan dimana-mana saya dengar inflasi kalimat “dekadensi moral generasi muda,” – Hendak dibawa kemana negeri ini ? Indonesia sebentar lagi akan hancur dari permukaan bumi bak Sodom and Gomorah karena “kemerosotan moral anak muda…” –

Bahkan guru Bahasa Indonesia saya bisa menghabiskan waktu pelajaran selama satu jam untuk membahas lagu “Patah Hati” Rahmat Kartolo yang populer saat itu. Mereka cemas generasi muda menjadi cengeng dan ujungnya – akan mudah disubversi dan lagi-lagi “dekadensi moral.”

Saya dan kawan-kawan kebingungan mencerna fatwa para guru saya lalu kami berolok-olok mereka (maaf pak guru) dengan menirukan gaya mereka berjalan dan mengajar. Lalu sambil terbahak terjun mandi disebuah sungai kecil di Tanjung Karang.

Padahal diatas kami bertengger Kapal Uap jaman Belanda yang terlontar dari Selat Sunda masuk ke sungai puluhan kilometer jauhnya, dan ratusan meter tingginya menanjak sampai tersangkut disana.

Tak ada penjelasan sejarah dari guru kami bahwa benda berkarat tersebut adalah “monument Tsunami Karakatau yang tanpa campur tangan pihak terkait akan hancur dan lenyap dari muka bumi di azab kemarahan tangan dewa Karat.”

Beberapa tahun sebelumnya – ketika masih sekolahdi SMP I Talang Semut Lama kawasan ulu maupun ilir di Palembang, saya kerap melihat aparat militer dan kepolisian rajin sekali mengguntingi celana ketat ala “cangcuter” – menggunting rambut lelaki dengan poni didepan , lalu menyita sepatu setinggi mata kaki dengan ujung tajam. Alasannyapun klise, “mencegah dekadensi  moral..” – Padahal nyaris limapuluh tahun kemudian model sepatu yang sama hitam dan kulit sama berkilat menjadi pakaian “pesiar” para lulusan akademi militer kita.

Lalu kemana kata-kata “dekadensi moral karena pakai celana ketat, sepatu bitel (beatles), berponi mirip perempuan (bias gender)” yang didengungkan hampir lima puluh tahun lalu.

Negara memang nyaris hancur – tetapi oleh ulah manusia yang nama, pakaian, penampilan dan gelarnya menyiratkan orang “berakhlak luar biasa lurus,” dengan kelakuan luar biasa “mengkal -mengkol..

Tapi setidaknya filem Suzana menginspirasi hidup saya seakan “bernafas dari lumpur” alias Mudlogging.

Ketika pasangan hidup berusia setengah abad


Saudara berdatangan mengucapkan selamat ultah setengah abad
Saudara berdatangan mengucapkan selamat ultah setengah abad

Tentu saja berterimakasih, bersyukur, dan seperti biasa cipika cipiki lalu makan malam bersama. Sepertinya keluarga akur, damai. Tapi saya terpaksa bongkar dapur “demi sebuah pembelajaran” bahwa sekalipun keluarga dari istri nampak akur sebetulnya ada sekam membara.

Daripada  menyalahkan orang lain memang pekerjaan paling gampang. Maka saya lebih baik menanamkan kepada diri sendiri, bahwa pertama “kebenaran akan muncul juga sekalipun kadang terlambat, dan yang kedua jangan menganak emaskan anak kandung sendiri..” – karena saya menulis sejarah hidup, maka sebisanya sisi buram kehidupan kami jangan pula ditutupi.

Keluarga saya memiliki anak (adik) yang selalu benar dimata mereka. Keluarga istri sayapun demikian. Kalau dia memegang becak, dan bersabda “mercedez” maka mati-matian becak butut tadi disebut mobil kinclong. Jangan-jangan sayapun tanpa disadari berperilaku sama. 

Bermula, kami mencoba melepaskan diri dari “menjadi orang gajihan” – lantas berbisnis dan berhasil. Seperti biasa banyak famili menumpangkan hidup  pada kami. Namun Ketika bisnis jeblok kami dijauhi bahkan kalau ada Ryan penjagal nama waktu itu, mungkin kami disewa agar nama kami bisa lenyap dimuka bumi.

Dan saat-saat hidup menjadi teramat sulit, apalagi sepertinya kesulitan datang lapis berlapis, satu lepas dan berhasil diatasi, maka sebatalion datang. Maka saat seperti ini pasangan hidup haruslah tidak saling menyalahkan dan yang lebih penting lagi siap bahu membahu, sebab keluarga dekatpun  kadang tanpa disadari mengadu domba kehidupan berkeluarga.

Apalagi ada yang menarik keuntungan materi dari pertentangan ini. Aneh tapi nyata, mirip serial Oh Mama Oh Papa.

Badai memang menipis, tanpa kami sadari kami sudah naik kelas.

Sekarang kembali normal. Semua persoalan internal keluarga bermuara mengadu dan mengacu kepada kami. Pelajaran yang sudah didapat adalah boleh kita menjadi keranjang sampah menimbun persoalan orang lain, tetapi sebatas menjadi “juru komentar” – bukan “juru laksana.” – singkatnya harus memilah, bahwa itu urusanmu dan ini urusanku. Kalau diumpamakan, jadilah macam Ustad Jefry di Tipi, bukannya Ustad FPI yang manakala ucapannya tidak didengarkan langsung merangsek menyerbu lokasi, sebab akhirnya memang babak belur.

Untuk ungkapan rasa syukur bahwa pasangan hidup saya sudah usia setengah abad. Acara makan di sebuah resto steak berjalan lancar. Resto waralaba ini kami pilih lantaran ada pilihan “salad” dan eskrim yang gratis sehingga para anti daging bisa tetap menikmati hidangan. Cacatnya tidak semua famili bisa hadir karena ada keluarga yang saling menghindar bertemu satu sama lain.

Disela-sela makan, keponakan kecil kami berkeliling resto dan ia melihat bahwa harga air mineral disini jauh lebih mahal ketimbang warung rokok “pak Dodo dan Opik” di seberang rumah mereka.

Lalu saya mencoba menjelaskan sebisanya bahwa sepintas harga minuman nampak mahal tetapi apakah warung seberang menyediakan salad, es krim gratis boleh dimakan sepuasnya? apakah ada pelayan yang siap melayani permintaan kita, apakah di warung “opik” ada air conditioning, toilet yang ber pendingn udara. Sejatinya saya sedang menanamkan “gagasan” mendapatkan suasana nyaman tidak harus gratis.

Bola biliard yang dituju lebih lanjut adalah, kalau kita selalu berkutat mencari barang besar dan kecil dengan selalu berpatokan paling murah, terkadang efek pantulnya adalah memperoleh barang tak bermutu, dan berakhir dengan mengeluarkan biaya jauh lebih besar plus rasa kecewa.

Baru saja adiknya (kelas 2 SD) puas tidak puas dengan jawaban saya yang diluar “habitat” mereka, sang kakak yang lebih “tuwir” cara berfikirnya kendati masih kelas 5SD – berbisik, bahwa ini acara mahal dan terkesan jor-joran.

Lalu tanya jawab berlangsung bahwa pakdenya dapat THR, sementara orang lain mudik, kami tinggal dirumah. Lalu pakde-nya (saya) mencoba memberi jawabab lagi bahwa “ketika seseorang merasa berhasil menyelesaikan sebuah tugas atau masalah, ada baiknya ia mentraktir diri sendiri, pakde mentraktir diri pakde sekalian mengajak kalian sebab pakde mau minta traktir dengan siapa?”

Biasanya keponakan gendut saya ini bisa menyerap semua kata-kata saya sehingga sang ayah sering bilang “pakde banget..” – buktinya ketika steak ibunya tinggal separuh, lalu disambarnya. Dan iga bakar sayapun harus rela “sharing” dengan napsu makannya yang memang luar biasa.

Dua Janda Hebat


Jangan berpendapat buruk dulu, mentang-mentang judulnya Janda. Sebuah konotasi yang selalu menjadi bahan lecehan kita. Sebut saja Bunga nama perempuan hebat ini. Bisa bermain Piano, Organ, anggota grup paduan suara, mampu mengajar Bahasa Inggris.

Bahkan ia pernah menjadi Kepala Cabang sebuah bank ternama. Wajah manisnya kalau didekati terutama bagian tangannya, bahkan konon bahunya (ups), maka anda akan melihat parut-parut bekas sayatan pisau rupanya sang suami yang pemarah doyan menyakitinya. Sang suami yang ditresnaninya malahan berusaha membunuhnya sebelum akhirnya rumah tangga mereka bubar jalan.

Setelah ditinggal kabur sang suami, Bungapun menghidupi dua anak perempuannya dengan berkerja sebagai pembantu toko. Bedanya dengan penjaga toko lain yang lebih baik tidur siang dibawah tumpukan triplex dan semen maka sebaliknya  janda yang doyan ngemil ini, mengisi waktu luangnya dengan membaca novel atau majalah apa saja. Persis Asrul dalam Mencari Pintu Tuhan besutan Dedi Miswar, Ia seperti selalu kelaparan ilmu.

Lapar bacaannya bermanfaat. Ia kini menambah koceknya dengan mengajar bahasa Inggris dan Piano. Salah satu anak gadisnya nampak mewarisi otak ibu, cerdas sekalipun seringkali ketus. 

Tapi jangan bicara soal resep dapur, ia bakalan terguncang menahan tertawa. “Aku bisanya makan…” – dan cita-citanya menurunkan berat badan tanpa harus olah raga. Ya mimpi kali yeee.

Janda yang kedua berkulit gelap, tetapi bodynya masih semlohei nampak kalau ia menggunakan celana jin ketat. Nenek dengan dua cucu ini memang lengkap ilmunya, ia pernah menjadi atlit tae kwon do, instruktur senam (tahu dong postur rata-rata guru olah raga ini), bekerja apa saja bisa dan terakhir menjadi supervisor perusahaan yang bergerak di bidang asuransi.

Ketika melakukan pendekatan kepada calon pelanggan, caranya berbicara, cara menghitung biaya yang harus dikeluarkan, sudah tak diragukan lagi. Pernah ia masuk sebuah institut keuangan, persayaratan utamanya minimal S1, padahal tiga De pun ia tak punya. Maklum perempuan bersuara merdu ini mengandalkan kemampuan autodikdak. Tetapi dia tidak akalah akal, didepan team penguji dia keluarkan semua kebiasaannya, pengalamannya. “Selama ini saya jadi koordinator lapangan, apa belum meyakinkan?” – Dan dia diterima, langsung sebagai supervisor.

Keluarga kami amat bergantung kepada keahliannya. Tanyakan saja tukang urut, tukang ini dan itu, maka perempuan yang kita sebut saja “Tata” ini seperti sumur informasi yang tak kering-keringnya.

Nilai plus yang perlu ditambahkan empati sosialnya tinggi, kendati hidupnya empot-empotan senin kemis. Ia juga salah satu perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Tapi seperti mbak Melati, maka Tata juga bakalan ngekek kalau ditanya kepandaiannya dalam olah bumbu.

“Yang itu saya bego banget…”

Jangan mengambil analogi bahwa wanita tak pandai memasak bakalan di-KDRT oleh pasangannya. Ini cuma kebetulan lho.

Yang jelas keduanya memang menjadi orang dekat keluarga kami. Sampai-sampai saya bertanya-tanya, seharusnya dengan kepandaiannya, mereka patut mendapatkan imbalan materi yang memadai, bukan seperti sekarang ini.

Ada hari ibu, mengapa tidak ada hari Janda