Sambil menunggu panggilan boarding putra bungsu di bandara “The Legend Airport” – Halim, kami memasuki sebuah kedai kopi.
“Ada Es Jeruk” tanya kami kepada mbak petugas pemesan order dengan papan nama “Trainee”
“Tidak ada pak, kami disini minuman panas semua..” – tentu yang menjawab si Mbak Trainee.
Lalu kami buka menunya dan tertera “Es Kedondong” – tanpa banyak cincong, es dipesan dan tak lama keluar satu gelas minuman dengan irisan kedondong yang kotak-kotak, dan kedalam gelas ditambahkan es batu bulat-bulat.
“Lho apa ini kok ada es batunya dan dingin?”
“Oh kalau es kedondong sudah disiapkan dalam gelas dan disimpan di freezer” itu penjelasannya. Kami harus menerima mentah-mentah bahwa es batu kecil-kecil itu sudah disiapkan dalam gelas dan dimasukkan lemari pendingin.
Anak saya bercerita menonton filem yang lagi ngeHit yaitu “PENGABDI SETAN”. Tidak lama Trainee datang membawakan segelas kopi hitam. Begitu dipegang langsung kita bisa menebak suhunya dibawah 90derajat C.
Satu dua tiga tegukan, rasa asam sangat kentara, aroma gosong karamel yang sangat khas dari bubuk kopi instan tidak bisa dicuri. Mau tak mau saya harus berkomentar dalam hati. Memasuki kedai dengan plesetan nama ala Kopitiam, dengan harga sekelas Starbuck – mustinya saya tidak harus menyumpah “Saya bukan pengabdi saSetan-yang istiqomah”.
Rupanya bukan artis saja yang hari jadinya dirayakan di muka umum. Awampun ada yang berperilaku sama.
Bandara HPK.
Habis melepas putra balik ke Balikpapan, saya kembali ke kendaraan. Lumayan gundah, di Bandara Internasional ini cari mobil parkir tidak akan cukup memotret keadaan sekitar, lha seperti dihutan liwang liwung, cuma mengandalkan ingatan saja. Bandara lain parkir mayan mahal namun ada penomoran dan penerangan yang memadai. Bandara ini cuma menang mahal parkir saja.
Saya sedang celingukan mencari kendaraan yang saya parkir. Maklum ada di laut malam dikegelapan dan “wingit” ala parkiran Bandara International – yang mendeklarasikan diri sebagai “The Legend Airport” – sayangnya belum terjamah pembangunan sama sekali.
Lha kok didepan mobil kami ada sekelompok orang berdiri berkumpul. Seorang ibu berjilbab memegang kotak berisikan kue lalu menyalakan lilin.
Belum sirna rasa kaget, terdengar suara nyanyian bersama “Happy birthday” – lalu tepuk tangan, memberikan ucapan selamat dan lilin ditiup.
Kepada bapak yang berbahagia siapapun beliau , dicintai oleh keluarganya, sampai diberi kejutan ucapan selamat ulang tahun di tempat parkir – sayapun ingin mengucapkan “Happy Birthday ya Pak!”
HPK 15102017
[English .. Notice a bunch of people lighting candles on parking area. They celebrate one of the member for his birthday]
Siang ini saya dapat tugas menjemput dua penumpang, ibu-ibu. Ordernya begini “jemput kami berdua di Terminal Tiga (T3), itu lho kalau melalui tol Jakarta maka belok kiri ke T1 dan T2 dan yang ini lempeng, terus ketemu patung Soekarno Hatta yang baru di pindahkan – baru belok kiri.”
Nomor penerbangan juga disertakan. Lalu saya komentar dalam hati : Oh yang iklannya menjanjikan para pramugari melayani penumpang sambil megal-megol dengan raut muka seperti baru naik gaji dua ratus persen. Megal megol dari Hongkong! Jutex sih iya.
Semua dikirim melalui pesan WA-setelah komunikasi verbal tentunya.
Rasanya saya seperti anak SD yang diingatkan untuk menggarap PR – harus ada dua garis di bawah PR, sebagai tanda penutup.
Butuh waktu 90menit dari rumah untuk ke Bandara. Kendaraan saya parkir di lot B7 Terminal Tiga Ultimate- Bandara Soeta-Cengkareng.
Sengaja saya pilih paling ujung, sebab saat itu sekuriti mengarahkan kesana. “masih kosong pak!” kata mereka.
Disisi saya sebuah mobil MPV coklat berkilat parkir disana, nampaknya sudah lama disana – sebab . Saya cuma melihat kaki tak bersepatu ditumpangkan di dashboard. Pengemudinya boleh jadi di alam mimpi.
Karena masih perlu menunggu minimal satu jam saya langsung menuju kursi kosong disekitar terminal. Baru saja “mak-nyek” duduk sebentar sebuah bangunan semi permanen dengan tulisan CAFE membuat saya beranjak kesana.
Di dalamnya ada empat kios bergandengan, masing masing dengan spesifikasi masakan masing-masing.
Ada (masakan) Sunda, Jawa, Betawi dan kios aneka minuman. Semua dipajang dalam kotak kaca untuk melindungi debu, dan terutama agar tidak di “mek-mek” dipegang oleh pembeli.
Pertama saya mendatangi aneka minuman. Pilih kopi pahit – penjualnya bingung. Akhirnya saya memilih sesuai yang dipilihkan pelayan. Artinya “terserah situ aja mas, yang ada aja deh, saya manut..”
Sambil menunggu pesanan, pandangan saya tebarkan dideretan kursi yang masih banyak lowong, kecuali satu dua orang yang khusuk menghadap layar HP.
Namanya kopi saset, dituang lalu masukkan air termos – beres sudah. Kadang saya seperti melihat delik Perkosaan terhadap minuman..Dan jangan berhayal upacara tepatnya “penghormatan terhadap minuman bernama kopi” seperti yang diperlihatkan dalam Kopi Klinik, Yogya. (Ref film AADC2).
Baru saja satu sruput dua – Azan Lohor dikumandangkan. Dalam hitungan detik saja kursi di sekitar saya sudah diduduki bapak-bapak dan ibu untuk maksi. Mereka order lodeh, tahu, tempe, soto betawi, sop iga, atau sekedar Indomie. Dan aroma tembakau mulai terasa gurih (kata mereka).
Dari niat tulus suci “ngopi aja” – iman saya diuji ketika pelayan bolak-balik melintas membawa mangkok kuah daging dengan aroma emping melinco bereaksi dengan santan kelapa.
O-lala Soto Betawi daging campur.
Bujukan Soto makin kencang… Ingat itu..kesempatan nyoto cuma sekarang. Bulan depan Azab Pedih kalau kamu makan disini. Lha iyalah..sudah bulan puasa.
Soto Betawi saya order.. Didorong dengan kapucino saset… Kombinasi tak termaafkan kacaunya.
Soal rasa.. Harap maklum hidangan maupun minuman di Bandara memang kampiun soal harga doang dan bukan selera. Mudah mudahan kalau T3 Ultimate sudah beroperasi paling tidak kulinernya bisa bersaing dengan T3 di Singapura. Orang ke Bandara changi untuk kuliner. Bukan untuk ngedumel “mahal doang.”
Penumpang yang saya tunggu akhirnya datang juga, tetapi dua jam kemudian. Ia kirim pesan “Kami dah mendarat, bagasinya lama. Masuk saja kedalam terminal “ngadem””
Saya membalas WA – “nggak ah aku duduk dibagian merokok…”
“Emang situ merokok?” tanyanya lagi
“Menonton orang merokok..” balas saya. Satu penumpang yang paling senior meminta saya menciumnya – yang segera saya kabulkan.
Akhirnya setelah urusan bagasi selesai, sayapun menghidupkan mobil. Penumpang kasih order “Ke Gang Macan dulu – soto Bogor!.”
Saya cuma berdoa semoga perut bisa diisi lagi dalam jarak makan cuma 3 jam. Apalagi soto gang Macan memang “Macan bener rasanya..”
Sebelum masuk perseneling – saya lihat mobil disamping saya masih menyalakan AC-nya. Kelihatannya pak Supir kendati dirumah kontrakannya selalu kegerahan sehingga sanagat bergantung dengan AC.
Paling tidak dua jam lebih ia parkir dengan mesin dalam keadaan dihidupkan..
Lelaki ini bisa ditemui di Terminal III (tiga) – Bandara Changi Airport. Ia seorang porter dan kelihatannya satu-satunya yang beroperasi disana dengan trolley yang bergaya Hotel papan atas. Bertahun-tahun saya meyakinkan diri bahwa di Bandara Singapore kita harus self service, namun 2010-an kita sudah mulai melihat porter menungggu penumpang. Garuda Indonesia menggunakan terminal mewah ini untuk penumpangnya.
Tengok dengan Bandara kita, sekalipun istilahnya cuma nenteng LapTop, anak-anak muda tanggung dengan pakaian menyerupai seragam porter tetap merebut tas kita untuk dibawakan ke kendaraan. Selama ini mereka manut saja diberi berapa saja oleh kita, namun kalau jinjing satu Backpack saja musti dibantu. Indonesia memang sorga.
The blue bag initially it was OKAY to be put on Baggage. But other officer ask me to pay US380 (this is Jakarta to Singapore) and Indonesian’s note is RUPIAH
Kopor Biru yang kata orang adalah kopor jinjing sudah nangkring diatas temannya kopor berwarna Orange. Total berat melebihi kuota- ekses setara dengan berat sebuah PC .
Bapak petugas yang berdasi nampak tidak berkeberatan kami memasukkan barang tentengan ini kedalam Bagasi. Aman…
Tetapi saat pria berdasi ini meninggalkan kami, petugas yang duduk di Counter Garuda pada Sabtu 26.11.2011 penerbangan GA826 dari Jakarta – Singapura mulai “sesuai aturan”. Ia keukeuh meyakinkan bahwa kami harus bayar US38 untuk kelebihan kopor ini. Ketimbang berbantah di pagi yang sepi ini, kopor biru yang isinya cuma pakaian saya- kami tarik. Habis perkara.
Tadinya sih kepingin masuk pesawat melenggang tanpa barang jinjingan. Gara-gara 380US, dibelain deh narik-narik kopor pakaian.
Sesampainya di Changi Airport, manusianya baik-baik terhadap penumpang. Tapi tas saya ngadat ia seperti melawan keinginan saya. Setelah saya check wow wow satu bannya terkelupas. Perlu cari tukang vulkanizir ban.
One Bag found over weight. One officer say okay to put on Baggage. Other ask US38 as part of excess baggage. Better carry bags to the cabin
Kebiasaan buruk saya manakala hendak bepergian selalu gelisah. Tidur selalu diselingi bangun berkali-kali, makan jadi tak nyaman. Perut terasa kembung.
Maunya naik kendaraan langsung menuju tujuan. Tidak terkecuali saat hendak bepergian berombongan. Taxi yang kami panggil sudah datang, ada saja anggota keluarga yang menghilang sepertinya tidak afdol satu hari kalau tidak mengerjakan sesuatu didetik terakhir. Boleh jadi cara pengungkapan sawan bepergian yang lain daripada saya.
Begitu sampai di Airport – mereka pada ribut lapar dan terpaksa mampir ke kedai Hamburger. Heran – mulut kecil kalau diempani makanan impor nggak protes sama sekali.
Beda dengan perut saya.. Begitu mengudap roti berdaging dicolek sambal sasetan, perut langsung bereaksi.
Saya masuk toilet yang dijaga seorang lelaki tua berambut cepak dan beruban. Pandangan matanya menyiratkan gaya pemimpin besar mereka yang legendaris. Tapi perduli apa, saya sudah kebelet sehingga hanya bisa diimbangi oleh suara petasan cabe rencengan. Baru saja terlepas, encek penjaga toilet yang dari posisi semula berdiri dekat pintu toilet nyeletuk bahasa Malay “macam kafilah punya…”
Ternyata dia punya pengertian sendiri akan kafilah… Sementara saya berperasaan kafilah adalah rombongan onta di padang pasir yang bergerak tanpa suara, kecuali dengus sang unta, maka si Encek berpendapat : suara yang beruntun- bagai barisan unta.
Akkirnya saya keluar sambil bertukar senyum. maksud saya, saya senyum, sementara encek melihat seperti PM Lee memandang aduan ayam dimasa mudanya. Sejak itu peribahasa Kafilah berlalu sedikit mulai campur bawur dibenak saya. Oh Changi…
Iklan di atas lalu diteruskan, Bos anda betul, menggunakan software bajakan untuk bekerja rasanya tidak jadi masalah. Asal tidak ketahuan pihak berwajib.”
“Maka bos anda juga bisa berfikir untuk menyunat penghasilan dari kerja keras anda. Asal tidak ketahuan oleh Anda..”
Ketika bos kita mengajarkan kita menghalalkan cara untuk mencapai suatu tujuan, bagaimana berkelit dari pajak termasuk kewajiban membeli software bajakan, maka seharusnya kita waspada sedang berhadapan dengan monster yang suatu waktu tidak akan segan menyunat penghasilan kita, kalau kita tidak tahu.
Saya suka sekali mengamati seseorang dalam mengendarai mobil. Pengemudi yang “cool” mengambil jalur orang, menyodok kekanan kekiri, sikat bahu jalan, memasuki jalur larangan termasuk busway, ternyata banyak diantara mereka ini menceritakan berselingkuh sama bangganya dengan orang baru pulang Umroh. Orang macam ini, bisa berbicara kedelai dipagi hari, dan tempe di hari lain.
Ada kebanggaan kepuasan atau semacam pencapaian orgasme karena melanggar etika dalam masyarakat. Sampai saya pernah bikin “ilmu titen” – kalau Indonesia ingin bebas dari korupsi, pembenahan pertama adalah dengan bersikap benar berlalu lintas.
Yang sipil tertib pada aturan, yang militer jangan mentang-mentang pelat nomornya beda menang-menangan sendiri.
Ambil contoh peristiwa di Bandara Internasional kita. Hari Sabtu 9/8/08 kendaraan kepolisian parkir di tempat terlarang. Lewat pengeras suara petugas keamanan Bandara berkali-kali minta dipindahkan tetapi tidak diindahkan. Buntutnya kendaraan berpelat kesatuan ini digembosi. Ternyata setelah melihat ban mereka digembosi, petugas protokoler yang memang ada di bandara marah-marah, tersinggung dan luar biasanya, kendaraan dimelintangkan di terminal 1B tujuannya agar semua kendaraan seputar bandara macet total.
Ahmad Haidir merasa bertanggung jawab akan keamanan dan ketertiban Bandara, yang selalu menerima kritik, bandara semrawut, langsung mendatangi kendaraan sang Jagoan kita. Orang Jawa bilang “Ular Mendekati Kayu,” maka Ahmad Haidir yang malang langsung dikeroyok petugas kepolisian kita sampai babak belur dan terjatuh-jatuh. Luar biasa sekali kekuatan angkatan bersenjata kita.
Salah satu pengeroyoknya yang dikenali adalah Briptu Aswar Hadin dari Polda Sumatra Barat.
“Mereka meberi contoh dan tauladan yang tidak baik kepada masyarakat luas. Kalau kami tidak menertibkan mereka, pengendara lain bakal komplin, tebang pilih.” kata Mardianto – Komandan Bandara atas peristiwa yang menimpa anak buahnya tersebut.
Dan kalau kita melihat bandara tetap semrawut, jangan heran. Banyak pihak yang memang lebih suka Bandara semrawut. Berita selanjutnya, mobil pejabat kita malahan seperti pamer kekuasaan, parkir lebih lama di tempat yang ekslusif. Kapan lagi, kelak kalau pensiun, naik bis kotapun tidak ada yang melirik.
Maka tak heran ketika kita melihat bagaimana semrawutnya pelaku lalu lintas (termasuk penjaga lalu lintas), korupsi semakin – sulit dan sulit saja diuraikan.
Gara-gara datang kepagian ke Bandara maka saat memasuki ruang keberangkatan tak satupun petugas melakukan pengecekan tiket atau screening keamanan sebab alat yang biasanya dipasang pada koridor jalan sebelum memasuki ruang keberangkatan juga sudah disisihkan entah kapan.
Di gerbang E4 sempat ragu. Pasalnya tidak jarang di layar monitor dikatakan D4, ujuk-ujuk sudah pindah D2.
Tiba-tiba mata saya kepentok deretan kursi yang terbujur rapi, lantai mengkilat, berpendingin udara. Dan tanda larangan merokok nampak disana sini. Sepintas dipatuhi namun melihat tumpukan puntung yang disembunyikan dengan cerdiknya mungkin saja ada hari-hari tertentu ruangan pemberangkatan Internasional ini dijadikan ruang berasbak.
Lalu di kamar kecil saya lihat seorang Bule bertopi rimba sedang ngelepas-ngelepus (pas pus) merokok kretek. Karena dia tinggi besar, enak saja pantatnya disenderkan pada washtafel pojok kiri.
Sejak tanggul bandara dadal-duwel diterjang air laut, sekarang kursi dimanfaatkan sebagai tempat puntung rokok, maka tidak ada salahnya kita berucap Selamat Berkampanye Indonesia Visit 2008. – Ingin melihat Surga dimana aturan dilanggar – ya Indonesia ini tempatnya.
Loket keberangkatan pesawat 15menit lagi akan dibuka. Saya sudah berada dalam jepitan calon penumpang Garuda di Bandara Perth-Australia.
Di belakang saya ada rombongan Universitas Jawa Timur yang dipimpin seorang ibu berkerudung dengan tumpukan tiket dan passport dikedua tangannya. Mereka sumringah bertemu dengan teman lama, lulusan 1985-an .Didepan saya berpakaian lebih perlente dengan lencana baru diperkenalkan lima tahunan. Terdengar suara penuh takzim dan hormat “menyertai bapak Kadin.”
Buru-buru mantera Harry Potter segera saya rapal agar telinga berdiri lebih tegak seperti herder tidur siang lalu mengendus bau kelinci gemuk. Berhasil.
Mendadak suasana gembira berubah perseneling resah. Rupanya salah satu dari kedua rombongan melihat ada calon penumpang membebat bagasinya persis pendeta Mesir memerban mumi rajanya. Seperti dikomando satu persatu keluar antrean mendatangi penyedia jasa pembebat tentunya dengan tambahan biaya sepuluh dollar. Sebetulnya tindakan ini dilakukan jika kita kuatir kopor akan rusak ditumpuk di ruang bagasi.
Lalu seorang petugas bandara mendekati mereka sambil membawa kantong plastik.
Maksudnya barang siapa membawa cairan, gel, pasta gigi, lipstik dalam barang kabin agar dimasukkan kedalam plastik yang ia bawa. Namun penjelasan petugaspun membuat mereka gelisah seperti mendengar peraturan baru. Beberapa pasang mata tertuju kepada saya yang “glak glek” sambil mengempit satu liter air kemasan.
Loketpun dibuka, satu calon penumpang dipanggil kedepan. Tiba-tiba “grudug” anggota yang lain maju tak gentar berkerumun diloket yang sama. Mungkin lupa bahwa di tanah airpun sebelum giliran tiba kita harus menunggu di belakang garis batas yang telah ditentukan.
Saat itu di ujung loket yang lain sudah siap memberikan pelayanan. Petugas melambai ke arah saya sambil berseru „next please.”
Sayapun bergegas kedepan dengan langkah seperti paskibraka membawa bendera pusaka. Namun akhirnya saya harus mundur tak teratur pasalnya saya berhasil diserobot kelompok yang menggerombol tadi. Jelas saya kalah sebab untuk naik keposisi seperti bapak-bapak ini tak jarang harus memainkan sikut dan jegal bak di lapangan bola.
Baru saja kembali ke antrian. Dari belakang terdengar suara tidak sabar „maju-maju sudah kosong tuh.” – Sekali ini saya harus tabik kepada mbak ketua rombongan uni.
“Bapak ini saja belum dipanggil,” katanya sambil mengayunkan tumpukan tiket berbalut amplop plastik jejak biro perjalanan tertentu. Idealisme anti srobot masih belum luntur rupanya.
Saya berbisik kalau belum di awe-awe (dipanggil) sebaiknya jangan maju. Bisa jadi dia belum siap. Saya pernah didamprat ketika petugas sedang menunduk tiba-tiba “jleg” sudah berada didepannya zonder sepengetahuannya. Rupanya itu yang membuatnya sport jantung lantaran kaget.
Jadi kepikiran. Kedua rombongan didepan dan dibelakang saya tentunya kelompok manusia unggulan Indonesia. Kalau melihat kata-kata berbau “tesis, pelatihan, APBN, proyek, pembangunan.” – Satu kelompok bertanggung jawab menyetak tenaga intelektual karena membawa nama uni terkenal. Kelompok lain membawa arah kapal Republik berjalan.
Kadang kalau dipikir-pikir. Pantas kita bisa dijajah Belanda sampai ke cucu cicit, lha urusan antri sudah menimbulkan panik dan kehilangan percaya diri. Sayang belum ada jargon “Antri Menunjukkan Bangsa.”
Baru duduk di pesawat menencangkan sabuk keselamatan, giliran saya yang gelisah sport jantung lantaran didatangi petugas. “Bisa melihat tiket pesawat anda?”
“Prin-prinan” – tiket elektronik yang sudah lecek karena penuh tulisan penggalan artikel majalah asing selama perjalanan inipun lalu dibawa petugas ke luar pesawat. Pesawat sempat tertunda sebentar. Tidak ada drama namun pertanyaannya “ada apa dengan tiketku?”
Tayangan Infotainmen memperlihatkan Fauzi Baadila geram lantaran istrinya di palak petugas imigrasi sebesar lima juta rupiah dengan alasan dokumen keimigrasian bermasalah.
Lalu bapak Dirjen Imigrasi menyatakan bahwa bisa jadi oknum yang berada di dalam ruang Immigrasi adalah orang lain bukan petugas yang sah.
Jadi kepikiran, itu ruang Imigrasi atau WC umum sebab bagaimana mungkin setiap orang bisa duduk dan buka lapak diruang yang angker.
Bapak seharusnya memberikan lencana khusus kepada mereka. Karena dengan gaji yang dibayarkan negara, mereka masih rela mengerjakan pekerjaan tambahan memegangi tiket para penumpang terutama warga asing. Biasanya wanita muda, sexy.
Lalu petugas kita yang salah satunya berkulit gelap, perawakan atletis, berseragam dandy, bahkan rela “jemput bola” mencek-in kan penumpang-penumpang tersebut. Dengan takzim dan patuh berdiri disamping penumpang asing yang sedang membayar fiskal. Atau mungkin petugas Biro Perjalanan sekarang diberi seragam bertuliskan Imigrasi?
Atau petugas imigrasi yang bersaing dengan porter di Bandara, mengangkatkan bagasi dan koper para penumpang, bersikap penuh hormat kepada penumpang yang saya yakin mereka adalah para eksekutif Glodok. Kasihan para Porter aseli yang harus bersaing mata pencahariannya dengan mereka.
Tetapi mengapa masih ada yang mencoba berkelit, “itu bukan petugas kami.”