Menghadapi pasangan yang marah cara Arab


Dalam kisah di tanah arab , ada nama seorang tokoh yang terkenal yaitu sebut saja UBK. Perangainya keras, bekas tindakannya selalu meninggalkan bekas yang kentara. Kalau di Mahabrata, perangainya mirip Bimasena, kalau di era “kudeta dan AK47” kira-kita seperti Gogon (Sumargono), well, kurang lebih. Baginya perundingan dan diplomasi adalah pekerjaan omong kosong. Setuju bilang setuju, tidak setuju, minggiiir.Suatu ketika seorang pria Arab mendatangi rumah UBK yang Arab juga. Nampaknya ia membutuhkan nasihat atas problema keluarga. Dialognya kira-kira begini:

“Wahai, sahabatku UBK” – saya tidak mengerti mengapa selalu dialog dalam kisah-kisah negeri Arab banyak dimulai dengan seruan “wahai”, sehingga saya harus membayangkan pria Arab berjenggot panjang, bergamis, lalu mengucapkan wahai dengan merentangkan kedua tangannya sambil telapak tangan terbuka ke atas, dan biasanya tidak mungkin berbisik.

Atau, kalau boleh saya membayangkan ada suara tanpa rupa, pakai echo. Ngomongnya pelan-pelan. Sehingga yang mendengarkannya ikut hanyut efek psychodelik.

Andai saja ceritanya berasal dari Indonesia, bisa jadi didahului dengan kata-kata “Ngomong-ngomong soal bla bla bla….”

Ha, rupanya, dia menceritakan perangai isterinya yang suka marah kepada suami. Kalau lagu dangdut “sapi”ring berdua syairnya berbunyi, “pagi makan sore tiada”, ini jadinya “pagi marah, sore apalagi.”

Cara mengomelnya bisa digambarkan kalau di jaman Walt Disney, pas untuk melukiskan “Dessy si Bebek” marah kepada Donald. “Mau diapakan sebaiknya isteriku ini,” tanya Arab tadi menunggu nasihat UBK. Si penanya rupanya mengharapkan anjuran tindakan non diplomasi dari UBK. Marahnya sang penanya kalau di expresikan di filem kartun seperti seekor gajah marah, lantas duduk diatas kaktus. Kartunnya digambar merah diclereti hitam, kepalanya mengepul asap. Kira-kira demikian.

UBK segera menggamit lengan temannya, sambil berbisik dekat telinga temannya dia berkata. “Wahai temanku, apakah isterimu selama ini memasak untuk mu ?”

+ Ya, tentu *wahai* UBK.

“apakah isterimu melahirkan dan menyusukan anak-anakmu ?” (kali ini Wahainya saya remove)
+Ya, tentu hai UBK

“apakah isterimu mencuci pakaianmu yang kotor ?”

+Ya, tentu UBK

Kalau memang demikian, saran saya, kalau dia masih juga marah, diam dan dengarkan saja ocehannya, jangan dijawab, mungkin mereka keletihan setelah seharian bekerja, sebab isterikupun kadang berbuat demikian kepadaku.

Sahabat kita pulang, dia tidak mendapatkan semacam “mumbo jumbo” atau penyelesaian ala buku masak. Atau kisah yang “mengancam”, akan azshaab yang pedih dan sadis. Kelihatannya memang tidak ada penyelesaian, tetapi paling tidak orang tadi ada teman mengadu, dan dia tidak merasa sendiri di dunia.