Masih ingat Snouck Hugronye alias Abdul Gafar, Doktor lulusan jurusan Sasra Semit, ahli soal Aceh?.
Orang ini pada tahun 1884 pergi ke Jeddah. Ia tinggal disana sambil bergaul dengan warga setempat. Bahkan ia berhasil masuk ke Mekkah, suatu tempat yang tertutup bagi Non Muslim. Hebatnya ia bisa tinggal disana selama 7 bulan.
Dengan kefasihannya berbahasa Arab dan Membaca Al Quran, tahun 1889, Snouck ke Betawi sebagai peneliti masalah Islam. Ia juga diangkat penasehat bahasa timur dan tugas utamanya meneliti Aceh.
Suatu pagi di bulan Juni 1903 terjadi kesibukan di kantor Snouck. Beberapa opas polisi nampak mendatangi Snouck. Rupanya sehari sebelumnya para polisi menangkap “para extremis pembuat kekacauan di Hindia Belanda.”
Yang ditangkap adalah pribumi dengan tuduhan membuat rapat gelap dan provokasi kerusuhan massal. Ketua rapat adalah seorang bergelar haji dari Cihampea. Mereka diduga akan membuat kerusuhan agama dan rasial. Polisi juga menyita dokumen rahasia milik kelompok tersebut. Cuma celakanya dokumen tersebut ditulis dalam Arab Gundul. Yang gondrong saja susah dimengerti apalagi yang gundul.
Lantaran tidak tahu isinya, dokumen tadi diserahkan kepada Snouck untuk diurai maksud rahasia yang tersembunyi.
Snouck melaporkan bahwa tulisan Arab yang bikin heboh tadi cuma “membicarakan kecintaan manusia terhadap manusia dan manusia terhadap penciptanya.” – seperti layaknya sebuah agama yang mengajarkan kedamaian dan kasih. Singkatnya dugaan untuk berbuat jahat tidak terbukti.
“Tengsin” juga para Detektip. Dasar Belanda, tetap saja pribumi tadi diajukan kepengadilan, dakwaannya “menjual Azimat”.
Bagi para “muggle” yang kurang paham dunia perewangan, dikalangan beberapa orang memang banyak yang membuat “rajah” semacam kertas putih ditulisi dengan hurup Arab, ada yang dipasang di depan pintu, ada yang dibelit kain hitam dijadikan kalung.
Adik saya pernah sakit panas, oleh bapak ditulisi rajah lalu dicelupkan ke air putih, dimanterai sebentar dan diminumkan. Besoknya langsung adik masuk rumah sakit, “Typhoid”. Lha “bak” alias tintanya kan bukan obat.
Menurut surat kabar Pembina Betawi terbitan 27 Juni 2003, hari ini Snock pergi ke Bandung, bukan untuk ikutan seminar peringatan Perak Geothermal di Hotel Horizon.
Rupanya ia mengurus Tuanku Ibrahim, anak dari Sultan Aceh Muhammad Daudsyah yang saat itu berusia 14 tahun dan diberi “beasiswa plus” oleh gubernemen di sekolah Raja Bandung.
Snouck memang ahli masalah Aceh. Ketika pasukan Kompeni tidak mampu mematahkan militansi para combatan Aceh, maka Snouck ditunjuk untuk mengetahui rahasia kekuatan Aceh. Dengan kepandaiannya dalam ilmu Islam, apalagi ia pernah tinggal di Tanah Suci, maka kedatangan Snouck diterima dengan tangan terbuka.
Sementara orang Aceh dan umumnya orang Islam sangat senang ada mualaf belajar agamanya, diam-diam Belanda dari markas di Peukan ini mengadakan koresponden dengan Cik di Tiro dan tokoh Aceh lainnya.
Digaruknya semua informasi mengenai adat istiadat, kelemahan dan kekuatan Aceh. Lalu dibuatnya laporan kepada Gubernemen Belanda yang isinya antara lain pengaruh uelama di Aceh sangat kuat, jadi kepada kelompok ini harus diberikan perlakuan tegas, jangan pernah memberi hati. Sebaliknya terhadap para bangsawan diajak kerjasama masuk dalam Pamong Praja dalam Pemerintahan Kolonial.
Berkat saran Haji Abdul Gafar eh Snouck Hugronye, perlawanan di Aceh pelan-pelan surut. Bahkan awal 1903, Sultan Daudsyah menyerah dengan imbalan uang akomodasi sebesar 1000 gulden per bulan. Sementara anaknya dibeasiswakan di Bandung.
Riwayat Snouck memang penuh warna. Terlahir sebagai anak Pendeta di Nederland ia mengambil Teologi kemudian pindah ke Sastra Arab. Ia mendapatkan gelar Doktor Sastra dengan spesialisasi di Sastra Semit.
Mimbar Seputro
+62811806549
Friday, July 04, 2003